Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pencairan dana program Jaminan Hari Tua (JHT) BP Jamsostek yang baru bisa dilakukan ketika usia 56 tahun atau meninggal dunia masih ramai menjadi perbincangan publik. Adapun, aturan tersebut mengacu pada Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Pjs. Deputi Direktur Bidang Hubungan Masyarakat dan Antar Lembaga BP Jamsostek Dian Agung Senoaji pun mengatakan bahwa regulasi pembayaran manfaat JHT tersebut untuk menjamin kesejahteraan peserta saat mencapai usia pensiun.
Dian pun bilang bahwa perusahaan akan tetap memastikan pengelolaan dana JHT dilaksanakan secara transparan sesuai dengan ketentuan yang berlaku guna memberikan imbal hasil yang optimal. Hanya saja, Ia tidak menyebutkan angka pasti imbal hasil terbaru yang didapat peserta JHT.
“Saya belum bisa kasih angka unaudited. Tapi kami akan memberikan imbal hasil yang optimal, minimal setara rata-rata bunga deposito Bank Pemerintah,” ujar Dian.
Baca Juga: Klaim JHT Usia 56 Tahun, Ini Beda Aturan Klaim JHT BPJS TK yang Dulu dan Sekarang
Jika melihat data laporan keuangan sejak 2018 hingga 2020, rata-rata imbal hasil dari JHT ialah di kisaran 6%. Rinciannya, imbal hasil 2018 tercatat 6,26%, selanjutnya di 2019 tercatat 6,08%, dan di 2020 imbal hasilnya di level 5,59%.
Sebagai informasi, portofolio aset investasi keseluruhan BP Jamsostek mayoritas berada di surat utang mencapai 63%. Rincian portofolio lainnya adalah 19% di deposito, 11% di saham, 6,5% di reksa dana, dan 0,5% sisanya merupakan investasi langsung.
Meskipun baru bisa cair di usia 56 tahun, Dian menambahkan bahwa manfaat JHT sejatinya dapat diambil sebagian, yaitu sebesar 30% untuk kepemilikan rumah atau 10% untuk persiapan masa pensiun dengan ketentuan minimal kepesertaan 10 tahun.
Selain itu, Peserta Program JHT juga bisa memanfaatkan fasilitas Manfaat Layanan Tambahan (MLT) berupa bunga ringan untuk Pinjaman uang muka perumahan (PUMP) maksimal Rp 150 juta, Kredit Pemilikan Rumah (KPR) maksimal Rp 500 juta, dan Pinjaman Renovasi Perumahan (PRP) maksimal Rp 200 juta.
“Bahkan peserta juga dapat melakukan take over KPR dari skema umum/komersial menjadi skema MLT,” imbuh Dian.
Baca Juga: Dana JHT Bisa Cair Setelah Usia 56 Tahun, KSPN: Tidak Salah, Cuma Situasi Tak Pas
Lantas, apakah sejatinya dana JHT ini mampu menjamin kesejahteraan peserta saat usia pensiun? Perencana Keuangan Oneshildt Agustina Fitria Aryani pun mengatakan bahwa tidak cukup bagi seseorang untuk memenuhi kebutuhan seseorang di masa pensiun.
Fitri pun mengungkapkan bahwa seseorang yang kenaikan upahnya hanya setara inflasi, menjadi peserta JHT sejak usia 23 dan pensiun usia 56, dengan rata-rata tingkat return JHT berkisar 3% di atas inflasi, maka JHT yang diperoleh pada usia 56 tahun hanya mampu untuk membiayai hidup selama 2 hingga 3 tahun.
“Kebutuhan hidup seseorang setelah pensiun bisa bervariasi, tetapi umumnya berkisar antara 70% hingga 85% dari penghasilan terakhir sebelum pensiun,” jelasnya.
Adapun, dana JHT pun tak akan bisa mencukupi semua kebutuhan di masa pensiun dikarenakan nilai iuran yang juga maksimal hanya 5,7% dari gaji pokok dan tunjangan tetap. Belum lagi, jika peserta hanya bekerja hingga usia 30 sehingga di sisa waktu menunggu mencapai 56 tahun hanya mengandalkan hasil investasinya tanpa tambahan iuran pokok.
Oleh karena itu, Fitri pun menyampaikan bahwa meskipun seseorang telah mengikuti program JHT yang wajib diikuti, perlu membuat rencana pensiun dengan lebih baik. Salah satunya, mengikuti program pensiun tambahan melalui DPLK maupun DPPK.
Namun, Fitri tak bisa memastikan bahwa imbal hasil mana yang lebih baik diantara program JHT maupun mengikuti DPLK/DPPK. Alasannya, DPLK juga ada beberapa macam, mulai dari yang konservatif, moderat, dan agresif dalam penempatan investasinya.
“Jika investasi di DPLK yang lebih agresif tentu berharap mendapatkan hasil yang lebih tinggi. Namun pada kenyataannya belum tentu demikian, bergantung pada kemampuan pengelola investasinya,” jelas Fitri.
Terakhir, Fitri memberi saran untuk menyiapkan investasi sendiri untuk dana pensiun. Adapun, pemilihan aset investasinya bisa disesuaikan dengan profil risiko masing-masing orang.
Misalnya, jika merasa memiliki profil konservatif, porsi investasinya bisa ke aset yang risiko rendah seperti deposito, obligasi, emas, reksa dana pasar uang/pendapatan tetap. Namun, konsekuensinya adalah jumlah yang perlu diinvestasikan lebih besar daripada mereka yang agresif.
“Tetapi untuk mereka yang profil risikonya moderat, bisa punya aset yang lebih bervariasi, selain reksa dana pendapatan tetap/campuran, emas, dan properti,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News