Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hingga akhir tahun lalu KONTAN mencatat ada 13 bank sistemik. Jumlah tersebut berkurang dibandingkan publikasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada April 2018 sebanyak 15 bank.
Sebagai catatan, penelusuran KONTAN didasari dari laporan keuangan bank umum kegiatan usaha (BUKU) 4, dan BUKU 3 yang membentuk domestic systematically important bank (D-SIB) capital surcharge alias modal tambahan yang wajib dibentuk bank sistemik.
Baca Juga: Soal revisi RBB, dua bank ini pantau efek corona hingga Juni
Ini sesuai dengan POJK 11/POJK.03/2016 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum. Dalam beleid tersebut, bank sistemik wajib membentuk modal tambahan D-SIB hingga 2,5% dari aset tertimbang menurut risiko (ATMR).
Ada dua bank yang sepanjang tahun lalu sudah tidak mengalokasikan modal tambahan D-SIB. Dua bank tersebut terakhir kali membentuk modal tambahan D-SIB pada kuartal IV-2018.
Adapula dari 13 bank tersebut, tercatat cuma ada 3 bank terbesar di tanah air yitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) yang mengalokasikan modal tambahan D-SIB maksimum 2,5%.
Sisa 10 bank lainnya mengalokasikan sebesar 1%.
Tiga bank terbesar di tanah air tersebut memang tercatat masih punya capital adequacy ratio (CAR) di atas 22% akhir tahun lalu.
Baca Juga: Bank Rakyat Indonesia (BBRI) akan pangkas target kredit tahun 2020
“CAR kami masih cukup tinggi di level 23%,” kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiatamdja kepada KONTAN, Senin (13/4).
“Rasio CAR kami belum banyak berubah dibandingkan tahun lalu,” sambung Wakil Direktur Utama Bank Mandiri Hery Gunardi kepada KONTAN.
Sementara Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Heru Kristiyana enggan memberi jawaban saat dikonfirmasi KONTAN.
Meski demikian, dalam konferensi pers daring pekan lalu, ia memastikan kondisi perbankan nasional masih mumpuni.
“Kalau dilihat dari aspek permodalan masih baik, CAR 22,42%, likudiitas BUKU 4, dan BUKU 3 juga masih sangat baik masih 200% di atas treshold,” kata Heru.
Sementara itu, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah pekan lalu juga menyatakan pihaknya belum melihat adanya potensi kegagalan bank sistemik. Terlebih akibat wabah Pandemi COVID-19.
Baca Juga: Dampak penyebaran wabah corona, bank mau tak mau bakal revisi target di tahun ini
Halim juga menambahkan, biarpun LPS kini diberi perluasan pendanaan melalui Perppu 1/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk penanganan COVID-19, namun LPS tak akan mampu menangani kegagalan bank sistemik. Mengingat kompleksitas dan ukuran bank sistemik yang besar.
“Kalau masih bank kecil di kelas BUKU 1, dan BUKU 2 kami masih memiliki kemampuan untuk menanganinya. Sementara untuk bank besar dengan aset lebih dari Rp 100 triliun, apalagi bank sistemik dengan aset di atas Rp 300 triliun LPS tak memiliki kemampuan,” jelasnya.
Baca Juga: Koinworks terima pendanaan senilai Rp 316 miliar
Lantaran hal tersebut pula, bank sistemik yang gagal tak akan langsung ditangani oleh LPS, melainkan mesti diserahkan kepada KSSK terlebih dahulu. Kemudian LPS akan menentukan sejumlah opsi penanganan: likuidasi, penyertaan modal sementara (PMS), membentuk bank perantara (bridging bank), atau menjual dengan skema purchase and agreement.
Guna meminimalisir risiko, Halim juga bilang saat ini LPS tengah menyusun peraturan yang mewajibkan bank sistemik menyusun rencana resolusi (resolution plan).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News