Reporter: Maggie Quesada Sukiwan | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Per tanggal 1 Juli 2015 nanti, seluruh pekerja formal wajib mengikuti program jaminan pensiun (JP) dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Pihak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai salah satu tim perumus Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) JP berpendapat, sebaiknya iuran program ini dinaikkan secara berkala. Untuk tahap awal, mereka memandang iuran JP dapat dimulai di level 3%.
"Besaran iuran bisa dari 3%. Kemudian setiap dua atau tiga tahun naik 0,2% atau 0,3%," tutur Staf Ahli Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal Kemenkeu, Isa Rachmatarwata kepada KONTAN, Kamis (16/4).
Sebab Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional menyebutkan bahwa peserta program jaminan pensiun berhak atas manfaat pasti jika telah melakukan iuran minimal selama 15 tahun. Sehingga, mereka yakin dana yang dibutuhkan untuk membayar manfaat pasti pertama kali pada tahun 2030 nanti akan cukup meskipun iuran tahun ini dipatok lebih rendah dari 8%. Besaran iuran 8% merupakan keinginan yang disuarakan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sebagai salah satu tim perumus RPP tersebut.
Selain itu, lanjut Isa, besaran manfaat pasti yang dijanjikan, metode pendanaan program pensiun yang dipilih, kondisi perekonomian tanah air, tren demografi di masa depan, kapasitas penyerapan investasi dalam negeri, serta efisiensi alokasi dana oleh pemerintah dan swasta merupakan beberapa faktor yang mendasari kecukupan iuran sebanyak 3%. "Ini pemikiran yang pernah disampaikan tim Kemenkeu," imbuhnya.
Di sisi lain, Isa mengungkapkan bahwa pihak Kemenkeu menerima undangan untuk rapat pada tanggal 8 April 2015 lalu yang membahas mengenai revisi Peraturan Pemerintah no 99 tahun 2014 tentang Pengelolaan Aset dan Liabilitas BPJS Ketenagakerjaan. Sayangnya, ia tidak hadir dalam rapat tersebut karena berhalangan. "Setahu saya ada perwakilan Kemenkeu yang hadir," ujarnya.
Pada tanggal 8 April 2015, Kemenaker menginformasikan bahwa iuran jaminan pensiun BPJS Ketenagakerjaan sebesar 8%. Sebanyak 5% akan dibayar oleh pemberi kerja dan sisa 3% berasal dari peserta atau pekerja.
Sebelumnya, Heru Juwanto, Direktur Pengawasan Dana Pensiun Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membeberkan bahwa rapat mengenai RPP tersebut hanya dihadiri oleh pihak Kemennaker, BPJS Ketenagakerjaan, Dewan Jaminan Sosial Nasional, serta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham). Padahal, RPP ini harus disetujui oleh pihak Kemennaker dan Kemenkeu. Setelah itu, baru dapat diharmonisasi oleh Kemenkumham dan diajukan kepada Presiden Joko Widodo.
"Kami OJK tidak tahu ada rapat waktu itu. Memang kami bukan tim perumus. Hanya bisa memberikan pendapat. Pas saya tanya, dari Kemenkeu juga tidak datang," ujar Heru. Selama ini, proses keputusan besaran iuran JP memang berjalan cukup alot. Alasannya, belum ada titik temu mengenai persentase iuran yang pas.
Menurut Heru, pihak Kemennaker ingin agar besaran iuran JP mencapai 8%. Di sisi lain, berdasarkan perhitungan aktuaris BPJS dan Kemenkeu, iuran yang cocok berkisar 3%. Sedangkan OJK sendiri menghitung bahwa besaran iuran yang pas adalah 4%. Dengan level segitu, lanjutnya, bisnis industri dana pensiun tanah air tak akan tergerus oleh kehadiran iuran wajib jaminan pensiun dari BPJS. "Jadi yang wajib bisa jalan, yang industri juga. Selama Kemenkeu belum tanda tangan RPP itu, maka harus dibahas ulang lagi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News