Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 dengan kecepatan tinggi telah menghantam semua sendi-sendi ekonomi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Efek virus tersebut telah membuat ekonomi berbagai negara merosot dan tak sedikit yang jatuh ke jurang resesi.
Pandemi tersebut telah membuat banyak debitur bank yang semula masih sangat sehat mulai kesulitan bernafas untuk memenuhi kewajibannya. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengambil langkah cepat agar krisis kesehatan ini tidak merambat menjadi krisis keuangan dengan merilis POJK 11/POJK.03/2020.
Aturan tersebut merupakan relaksasi restrukturisasi bagi debitur bank dan perusahaan pembiayaan yang terdampak Covid-19. Tujuannya adalah memberi debitur ruang bernafas untuk menata kembali cashflow-nya sehingga bisa kembali memenuhi kewajibannya kepada bank seperti sedia kala.
Baca Juga: Sempat capai rekor tertinggi di tahun ini, NPF multifinance berangsur menyusut
Dengan relaksasi itu, kredit yang direstrukturisasi langsung masuk kategori lancar sehingga perbankan tak perlu mengalokasikan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) untuk mengantisipasi resiko kredit.
Dari catatan OJK, sudah sebanyak 7,53 juta nasabah perbankan melakukan restrukturisasi kredit lantaran terdampak pandemi Covid-19 terhitung sejak Maret hingga 7 Oktober 2020. Nilai kreditnya mencapai Rp 914,65 triliun. Ini terdiri dari debitur Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sebanyak 5,88 juta dengan nilai kredit Rp 361,98 triliun dan selebihnya dari non UMKM.
Jika OJK tidak segera merilis relaksasi restrukturisasi, kredit macet perbankan dinilai bakal menggelembung dan menyebabkan krisis keuangan. "Ini bukti bahwa kinerja OJK masih sangat baik," kata Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah pada Kontan.co.id baru-baru ini.
Hasil tersebut terbukti dengan kondisi sistem keuangan Indonesia yang tercatat masih stabil dan sehat hingga saat ini. Piter bilang, itu bisa ditunjukkan dengan indikator-indikator lembaga jasa keuangan yang masih berada jauh di bawah batas ambang wajar di tengah pandemi Covid-19.
Baca Juga: Meski terkontraksi, OCBC NISP mampu catatkan laba Rp 1,9 triliun di kuartal III-2020
Per September 2020, rasio kredit bermasalah atau non-performing loan (NPL) perbankan secara gross berada di level 3,15%. Angka ini memang meningkat dari akhir tahun 2019 yang masih tercatat 2,5%, namun masih jauh dari ambang batas wajar yang ditetapkan regulator yakni 5%.
Sedangkan NPL net tercatat menurun dari 1,2% menjadi 1,07% seiring dengan upaya antisipasi perbankan dengan meningkatkan pencadangan.
Secara bulanan NPL perbankan tersebut mengalami penurunan. Pada Agustus, NPL gross tercatat mencapai 3,22%. OJK melihat bahwa penurunan tersebut tanda semakin banyak debitur bisa kembali lancar membayar angsuran kreditnya. "Saat ini sudah ada proses recovery. Kami optimis sampai akhir tahun NPL tidak akan menembus 5%," kata Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso dalam paparan konferensi pers virtual, Senin (2/11).
Kondisi likuiditas perbankan juga masih sangat longgar dimana rasio kredit terhadap simpanan perbankan atau loan to deposit ratio (LDR) ada di level 83,16% per September 2020. Rasio permodalan juga masih sangat sehat dimana Capital Adequacy Ratio (CAR) perbankan terjaga di angka 23,39%.
Relaksasi restrukturisasi kredit semula ditetapkan hanya berlaku satu tahun hingga Maret 2021. Namun, OJK telah memutuskan untuk memperpanjang aturan tersebut hingga Maret 2022. Hal itu dilakukan sebagai langkah antisipasif untuk membantu debitur terdampak Covid-19 yang masih memiliki prospek usaha namun membutuhkan waktu lebih panjang untuk bisa kembali normal.
Baca Juga: Jadi kebutuhan utama selama pandemi, bank berlomba memperkaya fitur mobile banking
Wimboh menyebut perpanjangan restrukturisasi diberikan secara selektif berdasarkan assesment bank untuk menghindari moral hazard agar debitur tetap mau dan mampu melakukan kegiatan ekonomi dengan beradaptasi di tengah masa pandemi ini.
Perbankan menyambut baik perpanjangan relaksasi restrukturisasi kredit tersebut. Ahmad Siddik Badruddin, Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri mengatakan, perpanjangan tenor restrukturisasi hanya akan diberikan kepada debitur yang memang masih bisa bangkit. Sedangkan yang sudah kelihatan tidak bisa bangkit lagi akan langsung diturunkan menjadi kredit bermasalah.
Ia menambahkan, ada sekitar 10%-11% dari debitur yang sudah direstrukturisasi Bank Mandiri memiliki resiko sangat tinggi saat ini. "Itu kira-kira yang akan kami antisipasi tahun depan yang mungkin di-downgrade ke NPL. Tidak ada gunanya dilakukan restrukturisasi baru kalau dia akan mati," kata Siddik, Senin (26/10).
Selanjutnya: Tingkatkan kualitas pembiayaan, MTF berhasil menekan NPF ke level 2,54% di September
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News