Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang masuk kategori bermasalah/macet atau non performing loan (NPL) tercatat mencapai Rp 14,87 triliun per Maret 2024.
Angka tersebut dikutip dari data statistik perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jika dihitung secara tahunan, jumlah kredit bermasalah tersebut naik 14% yoy dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 13,04 triliun.
Sementara itu, jumlah pembiayaan KPR yang disalurkan Bank Umum per Maret 2024 tercatat sebesar Rp 637,90 triliun, tumbuh 8,75% yoy dari Rp 586,57 triliun pada tahun sebelumnya.
Baca Juga: KPR Macet Naik 14% Jadi Rp 14,87 Triliun di Kuartal I-2024, Tapera Bakal Tambah Beban
Jika dihitung kembali, maka setidaknya sebanyak 2,33% dari total pembiayaan KPR di Bank Umum mengalami kredit bermasalah.
Di sisi lain jika melihat lebih rinci data Bank Indonesia terkait rasio NPL KPR khususnya segmen rumah tapak, KPR tipe sampai dengan 21 meter persegi mencatatkan tinggi rasio NPL tertinggi dibandingkan yang lainnya, yakni sebesar 3,58% per Maret 2024.
Padahal KPR tipe ini merupakan kelompok luas rumah untuk KPR subsidi. Faktanya, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) masih memiliki tingkat kolektibilas yang cukup tinggi meskipun telah diberikan subsidi oleh pemerintah. Maklum saja selain harus membayar kewajiban cicilan tiap bulannya, MBR juga harus memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Belum lagi saat ini tengah ramai persoalan Tabungan Perumahan Rakyat mencuat setelah Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) 21 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat.
Baca Juga: Tapera Akan Tambah Beban Bagi Industri Manufaktur Padat Karya
Pasalnya, kebijakan tersebut dianggap memberatkan pekerja yang harus diwajibkan ikut dalam kepesertaan Tapera. Iuran kepesertaannya pun cukup besar dengan penghitungan persentase dari gaji atau upah.
Jika pekerja berpendapatan di atas UMR, maka setiap bulan gajinya dipotong 2,5%. Di tengah pelemahan ekonomi dan daya beli masyarakat, tentu potongan tersebut sangat memberatkan. Wajar terdapat penolakan dari dunia usaha hingga asosiasi driver ojek online.
Melihat fenomena Tapera, CELIOS sebagai lembaga riset ekonomi dan kebijakan publik meluncurkan Policy Brief berjudul “Tapera untuk Siapa? Menghitung Untung Rugi Kebijakan Tapera”.
Baca Juga: Ditopang KPR, Kredit Konsumer Bank BCA Naik 14,9% hingga Kuartal I 2024
Dalam risetnya, Celios menilai dampak Tapera lebih untungkan pemerintah dibandingkan pelaku usaha dan pekerja.
Sementara itu Direktur Ekonomi CELIOS, Nailul Huda menyampaikan bahwa kebijakan Tapera berdasarkan hasil simulasi ekonomi menyebabkan penurunan PDB sebesar Rp 1,21 triliun, yang menunjukkan dampak negatif pada keseluruhan output ekonomi nasional.
“Perhitungan menggunakan model Input-Output juga menunjukkan surplus keuntungan dunia usaha turut mengalami penurunan sebesar Rp 1,03 triliun dan pendapatan pekerja turut terdampak, dengan kontraksi sebesar Rp 200 miliar, yang berarti daya beli masyarakat juga berkurang dan menurunkan permintaan berbagai jenis sektor usaha.” Kata Huda dalam keterangannya, Selasa (4/6).