Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Potensi pasar yang besar membuat investor asing tertarik masuk ke industri fintech peer to peer (P2P) lending Indonesia. Beberapa negara seperti China, Jepang dan Eropa mulai menanamkan modalnya ke sektor ini.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menyatakan bahwa regulasi membuka ruang bagi siapa saja ikut serta menjadi pemberi pinjaman (borrower) fintech dalam bentuk rupiah, tidak hanya dibatasi kepada Warga Negara Indonesia (WNI) dan badan usaha yang berdomisili di sini.
Baca Juga: Berkenalan dengan GoBear, agregator kebutuhan finansial baru di Indonesia
“Kehadiran POJK Nomor 77 tahun 2016 tentang fintech lending Indonesia, telah memberi kepastian hukum dan memberi rasa aman bagi mereka yang kelebihan dana di negara-negara maju untuk meminjamkan dananya secara langsung kepada para borrower,” kata Hendrikus kepada Kontan.co.id, Rabu (9/10).
Terlebih, aturan tersebut juga ditopang oleh potensi investasi negara-negara maju yang mengalami kelebihan likuiditas tapi kesulitan dalam mencari investasi alternatif yang aman. Ketersedian infrastruktur teknologi informasi di Indonesia turut berkontribusi penting dalam mendorong pendanaan luar negeri.
“Hal tersebut ikut berkontribusi penting dalam mendorong aliran dana luar negeri berbentuk rupiah dapat membiayai serta mendorong pertumbuhan UMKM, petani, nelayan, pengrajin, peternak dan pelaku usaha ekonomi kreatif lain,” jelasnya.
Menurut Hendrikus, peluang ini hendaknya dimanfaatkan oleh pelaku usaha, pemerintah dan otoritas terkait dalam mendukung perbaikan inklusi keuangan yang sehat serta ketimpangan ekonomi nasional. Diketahui, masih banyak masyarakat Indonesia kesulitan pendanaan dalam mengembangkan usahanya, baik karena ketersediaan jaminan (unbankable) maupun kebutuhan khusus yang tidak terlayani (underserved).
Baca Juga: AFPI: Hingga akhir tahun pinjaman P2P lending bisa mencapai Rp 70 triliun
Jumlah masyarakat Indonesia yang masih membutuhkan pendanaan adalah sekitar 100 juta orang dengan nilai Rp 1.000 triliun yang memang sulit dipenuhi oleh industri keuangan konvensional. Kebutuhan dana tersebut berupa pinjaman berjumlah kecil, tenor pinjaman harian serta waktu pencarian yang cepat.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News