CLOSE [X]
kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.348.000   -16.000   -0,68%
  • USD/IDR 16.725   -32,00   -0,19%
  • IDX 8.414   -5,56   -0,07%
  • KOMPAS100 1.163   -1,38   -0,12%
  • LQ45 846   -2,34   -0,28%
  • ISSI 294   -0,29   -0,10%
  • IDX30 440   -1,80   -0,41%
  • IDXHIDIV20 510   -4,13   -0,80%
  • IDX80 131   -0,28   -0,21%
  • IDXV30 135   -0,09   -0,06%
  • IDXQ30 141   -1,39   -0,98%

Menilik Urgensi Asuransi Fintech Lending di Tengah Meningkatnya Kasus Gagal Bayar


Jumat, 21 November 2025 / 19:40 WIB
Menilik Urgensi Asuransi Fintech Lending di Tengah Meningkatnya Kasus Gagal Bayar
ILUSTRASI. Kasus gagal bayar PT Dana Syariah Indonesia (DSI) menahan Rp1,5 T dana lender. Artikel ini mengupas minimnya asuransi & upaya mitigasi risiko.


Reporter: Ferry Saputra | Editor: Handoyo

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kasus gagal bayar di industri fintech peer to peer (P2P) lending masih saja bermunculan. Terbaru, ada fintech peer to peer (P2P) lending berbasis syariah, PT Dana Syariah Indonesia (DSI), yang diterpa masalah tertundanya pengembalian dana maupun pembayaran imbal hasil lender.

Berdasarkan data sementara Paguyuban Lender DSI, jumlah dana lender yang tertahan di DSI terbilang besar mencapai Rp 1,5 triliun per 18 November 2025. Nilainya berasal dari 3.312 lender yang sudah melakukan verifikasi ke Paguyuban Lender DSI.

Kejadian gagal bayar seperti DSI mendorong adanya ketersediaan perlindungan atau mitigasi risiko bagi para lender, salah satunya melalui produk asuransi. Pihak DSI mengakui bahwa selama ini tak menyediakan asuransi sebagai bentuk mitigasi risiko pendanaan lender apabila terjadi gagal bayar dari sisi borrower.

Direktur Utama Dana Syariah Indonesia Taufiq Aljufri mengatakan alasannya karena belum ada produk asuransi yang cocok dengan yang diharapkan oleh Dana Syariah Indonesia.

"Jadi, produk asuransi penjaminan untuk fintech lending belum ada. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga sedang mendorong perusahaan asuransi untuk mengeluarkan produk yang sesuai dengan kebutuhan fintech lending," katanya saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Rabu (19/11/2025).

Baca Juga: AFPI: Produk Asuransi Khusus Fintech Lending Masih Tahap Pembahasan

Taufiq mengungkapkan, dahulu Dana Syariah Indonesia sempat menyediakan produk perlindungan jenis Administrative Services Only (ASO). Namun, produk tersebut sudah tak disediakan sejak 2021.

"Namanya Administration Service Only, sehingga itu belum cocok dengan kebutuhan Dana Syariah Indonesia. Justru karena ASO tidak bisa cover gagal bayarnya borrower atau menjamin dari gagal bayar borrower, maka tidak kami pakai asuransi itu. Jadi, sampai sekarang tidak butuh asuransi," ujarnya.

Lebih lanjut, Taufiq mengungkapkan dalam memitigasi risiko gagal bayar, Dana Syariah Indonesia menerima aset properti borrower yang menjadi agunan atau jaminan.

Oleh karena itu, dalam rangka penyelesaian masalah yang terjadi, dia bilang DSI akan bekerja sama dengan Paguyuban Lender DSI untuk melakukan verifikasi kembali nilai aset yang ada. Nantinya, pencairan dari nilai aset tersebut akan digunakan untuk membayar dana para lender yang tertahan.

Muhammad Munir menjadi salah satu lender sekaligus pengurus paguyuban yang dananya tertahan di DSI. Jumlah dananya yang tertahan mencapai lebih dari Rp 1,5 miliar. Usai pensiun, dia memutuskan menaruh semua dana pensiunnya di platform tersebut dengan harapan dananya bisa dikembangkan.

Munir mengakui bahwa memang perlindungan berupa asuransi untuk kejadian gagal bayar tidak ada dari pihak DSI, tetapi hanya ada jaminan aset dari borrower.

Baca Juga: Cerita Lender yang Taruh Dana Pensiunnya di Dana Syariah Indonesia

Tanpa mempertimbangkan adanya asuransi, Munir menyebut keputusannya untuk menaruh dana di DSI tak terlepas dari imbal hasil atau return yang ditawarkan Dana Syariah Indonesia sebesar 18% dalam satu tahun.

Ditambah, DSI merupakan penyelenggara fintech lending yang berizin dan diawasi oleh OJK.

"Return-nya menjanjikan 18%, ditambah diawasi OJK sehingga kami merasa aman karena negara ada di situ. Sudah pensiun mau usaha, kadang susah. Jadi, manusiawi bahwa melihat return juga menjanjikan. Hampir rata-rata 90% uang sisa (pensiun) taruh di sini (DSI)," ungkapnya.

Munir menyebut bahwa sebelumnya memang sudah merasakan imbal hasil dari pendanaan di DSI. Sejak menaruh dana tiga tahun lalu atau 2022, dirinya sudah mendapat sekitar Rp 400 juta.

Namun, Munir mengaku syok ketika tahu bahwa ada kejadian gagal bayar dan akhirnya mesti utang sana-sini. Dana pensiun itu sebenarnya ingin digunakan Munir untuk menikahkan anak keduanya dan biaya sekolah anak ketiganya.

Dia pun berharap aset yang dijadikan jaminan bisa dicairkan sehingga dananya bisa kembali.

Sementara itu, Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda berpandangan perlindungan berupa asuransi memang diperlukan untuk memitigasi risiko apabila terjadi kasus gagal bayar.

Namun, dia bilang skema produk asuransi kredit khusus fintech lending tentu perlu ditentukan secara matang karena bisnis fintech lending terbilang berisiko tinggi.

"Siapa yang akan membayar premi? Apakah lender? Selain itu, ketika pendanaan lender diasuransikan, maka ada kekhawatiran bahwa borrower akan dengan mudah memutuskan menunggak bayar pinjaman. Alasannya, tidak ada jaminan yang diberikan oleh borrower dan tidak ada punishment kepada borrower," katanya kepada Kontan.

Baca Juga: AAUI: Asuransi Kredit Fintech P2P Lending Butuh Kehati-hatian

Oleh karena itu, Nailul menilai apabila nantinya ada produk asuransi untuk fintech lending, tentu perlu menggunakan mekanisme risk-based assessment dan dijadikan opsional.

Produk Asuransi Masih Digodok

Pada Mei 2025, OJK sempat menyampaikan sudah terdapat permohonan persetujuan produk asuransi kredit khusus untuk fintech lending. Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono menerangkan skema yang tertuang dalam permohonan tersebut adalah konsorsium.

Ogi juga menyampaikan OJK terus berdiskusi dengan para pelaku untuk memastikan profil risiko yang benar, didasarkan pada potensi loan disbursement beserta karakter dan durasi pinjaman.

Mengenai hal itu, Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) menyebut industri memang sudah diminta untuk membantu menyediakan produk asuransi kredit khusus fintech lending. Akan tetapi, Ketua Umum AAUI Budi Herawan mengatakan industri asuransi umum masih berhati-hati untuk menyusun produk itu.

"Kami sudah diminta membantu, tetapi kami juga tetap hati-hati karena fintech lending tanda kutip risikonya cukup tinggi. Basisnya adalah teknologi," ujarnya saat ditemui di Gedung Permata Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (20/11).

Budi mengatakan apabila memang asuransi umum nantinya mesti menggarap segmen fintech lending, mau tak mau industri harus siap. Namun, produk itu nantinya mesti dengan syarat dan kondisi dari asuransi umum.

Budi menyebut pembahasan penyusunan produk khusus fintech lending masih berlanjut sampai saat ini. Pendirian konsorsium juga belum terealisasi.

"Masih berlanjut, karena mendirikan konsorsium juga belum terealisasi. Masih banyak plus minusnya yang menjadi bahan pertimbangan dari regulator sendiri maupun pelaku industri," ucapnya.

Budi mengatakan apabila produk itu terealisasi, kemungkinan akan ada skema pembagian risiko atau risk sharing. Hal itu melihat dari skema asuransi kredit yang sudah tersedia di industri.

Baca Juga: OttoDigital–Ukirama Satukan Pembayaran dan ERP, Dorong Efisiensi Bisnis Nasional

"Kayaknya ada (risk sharing). Kalau melihat dari asuransi kredit karena default-nya cukup tinggi," kata Budi.

Senada dengan AAUI, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) juga menyebut saat ini penyusunan produk asuransi kredit khusus fintech lending masih dalam tahap pembahasan.

Ketua Umum AFPI Entjik Djafar bilang pihak lender atau pemberi dana juga dilibatkan untuk melihat skema yang tepat dalam asuransi kredit khusus fintech lending, termasuk soal besaran premi.

"Produk asuransi sedang dalam diskusi. Saat ini, pihak lender juga sedang mengkaji skema asuransi kredit itu," ungkapnya kepada Kontan, Jumat (21/11/2025).

Entjik menerangkan pihaknya selalu mengingatkan pihak asuransi terhadap potensi risiko moral hazard yang kemungkinan terjadi apabila produk asuransi khusus fintech lending itu terealisasi.

Tanpa asuransi saja, dia bilang ada beberapa kelompok masyarakat yang memang dengan sengaja secara terbuka tidak mau membayar pinjamannya.

Selanjutnya: Hotel Sambut Nataru 2025/2026 dengan Optimisme, Meski Okupansi Masih Tertekan

Menarik Dibaca: Hujan Lebat Turun Merata, Ini Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (22/11) di Jabodetabek

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×