Reporter: Anggar Septiadi, Nina Dwiantika | Editor: Dikky Setiawan
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Pemerintah meletakkan ujung tombak penyelamatan bank di tangan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lewat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 33 Tahun 2020, LPS dapat melakukan penempatan dana di bank untuk mengantisipasi kegagalan pada bank di tengah pandemi ini.
Kini, LPS bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) mengkaji kriteria bank yang akan menerima penempatan dana itu. Ketentuan kriteria bank penerima dana ini akan terbit pekan depan, melalui peraturan LPS turunan dari PP 33/2020.
Ada beberapa kriteria yang menjadi pertimbangan. Antara lain, kondisi keuangan bank, kemampuan bank dalam mengembalikan dana, serta jenis dan jumlah aset bank yang dijaminkan.
Sejatinya, dalam melakukan medical check up kesehatan bank, regulator mengacu pada rasio modal, likuiditas, kredit bermasalah, profit, dan tingkat kesehatan. “Ini dapat menjadi trigger untuk penempatan dana di bank,” kata Ketua Komisioner LPS Halim Alamsyah.
Penempatan dana LPS bertujuan menyelamatkan bank bermasalah, asal statusnya sudah masuk bank dalam pengawasan khusus (BDPK). “LPS melakukan early involvement bagi bank-bank yang bermasalah, terutama dari sisi keuangan, yang dapat menyebabkan kegagalan bank,” jelasnya.
Lantas, gara-gara dampak pandemi berkepanjangan belakangan ini, bank apa yang bakal memperoleh penempatan dana LPS? Halim enggan membuka informasi yang dianggap sensitif itu. Yang pasti, sesuai pasal 11 PP, bank dalam pengawasan khusus alias BPDK-lah yang dapat penempatan dana.
Setali tiga uang, Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo bilang, pihaknya tidak bisa menyebutkan bank mana yang dalam pengawasan khusus. Toh, bank yang akan mendapatkan penempatan dana ini juga harus memenuhi syarat, misalnya bank kesulitan likuiditas dan pemegang saham pengendali tidak dapat membantu. “Pemegang saham yang sudah angkat tangan,” ucapnya.
Harus menambah modal
Namun, sudah jadi rahasia publik, bahwa ada sederet bank yang sedang diburu-buru OJK untuk melakukan peningkatan modal. Di antaranya Bank Bukopin, Bank Mayapada Internasional, dan Bank Banten.
Sejauh ini, Anto mengaku, pemegang saham berkomitmen untuk menyuntik modal ke bank-bank tadi. Misalnya, KB Kookmin Bank telah bersedia jadi pengambil bagian tunggal saham Bank Bukopin. Dari rencana itu, investor asal Korea ini akan jadi pemegang saham pengendali hingga 67%.
KB Kookmin Bank akan menambah modal lewat skema penawaran umum terbatas (PUT) V dengan hak memesan efek terlebih dahulu (HMETD). Dari rencana aksi korporasi ini, maka bank berkode saham BBKP itu menyerap dana sekitar Rp 838,93 miliar. Jika tidak ada aral melintang, rencana ini digelar pada RUPS-LB 25 Agustus 2020 mendatang, sebagai sarana untuk meminta persetujuan pemegang saham.
Dato Sri Tahir juga berkomitmen menjaga modal Bank Mayapada. Dalam waktu dekat, pemegang saham pengendali Bank Mayapada, yakni Tahir, akan dialihkan ke Cathay Life Insurance Co Ltd. Saat ini, perusahaan asal Taiwan ini sedang melakukan uji tuntas di OJK.
Direktur Utama Bank Mayapada Hariyono Tjahrijadi menjelaskan, sebagai langkah strategi jangka menengah dan panjang, Cathay ingin menambah porsi kepemilikan saham. Saat ini, Cathay memegang 37,33% saham di bank berkode saham MAYA tersebut.
Adapun soal Bank Banten, dengan ditetapkannya sebagai BDPK, Gubernur Banten Wahidin Halim menyatakan pihaknya bakal menyuntikkan modal. Dalam rancangan peraturan daerah (raperda), Pemprov Banten berkomitmen menyetorkan dana Rp 1,5 triliun, dari rencana awal Rp 1,9 triliun.
Hanya, Pemprov Banten tak akan mengucurkan dana segar meskipun menambah modal. Sebab, setoran modal berasal dari konversi rekening kas umum daerah (RKUD) yang ada di Bank Banten. Nah, proses konversi ini perlu dukungan dari DPRD agar tak ada masalah secara hukum.
Akan halnya kondisi Bank Muamalat, Anto mengatakan, masih dalam proses pencairan investor. “Dalam waktu dekat akan ada penyelesaian pada bank syariah ini,” ucapnya.
Terancam tutup
Memang, bank yang sedang kehausan likuiditas sangat menanti penempatan dana ini. Dalam keterangan tertulisnya, Gubernur Wahidin Halim menyebut penempatan dana LPS bisa menjadi alternatif penyehatan Bank Banten yang mengalami krisis likuiditas.
Wahidin mengatakan, Bank Banten kini masuk bank dalam pengawasan khusus. Jika tidak dapat menyelesaikan masalah keuangan maka bank berkode saham BEKS ini terancam tutup. “Masalah utama yang dihadapi Bank Banten adalah krisis likuiditas,” kata Wahidin.
Untuk itu, LPS dan OJK akan terus berkoodinasi untuk memeriksa kesehatan bank. Memang, LPS tidak punya kewenangan langsung mengawasi bank, tetapi lembaga ini punya andil untuk memperhatikan kesehatan bank melalui pemeriksaan aset perbankan, seperti kualitas likuiditas bank.
Tak seperti OJK yang mengawasi bank secara rinci, Halim menyebut, LPS misalnya memantau pengelolaan arus kas di perbankan untuk mengetahui seberapa besar masalah keuangan yang dihadapi bank yang bersangkutan, serta bagaimana kekuatan likuiditas mereka.
Anto menuturkan, OJK dan LPS sudah bekerjasama dan berkoordinasi dalam melakukan pengawasan di perbankan, baik pada penanganan bank sistemik, penyelesaian bank selain bank sistemik, pendirian dan pengakhiran bank perantara, dan penanganan bank dengan status tbk.
Saat ini atau sebelumnya, Anto bilang, LPS sudah dapat melakukan due diligence termasuk pada bank selain bank sistemik yang berstatus dalam pengawasan insentif, serta penyampaian informasi antara OJK dan LPS terkait bank selain bank sistemik dalam pengawasan insentif atau khusus.
Hanya, untuk menetapkan bank mana yang bisa menerima penempatan dana, mereka perlu melakukan analisis kelayakan. Di sini, OJK akan menyampaikan bank yang perlu mendapatkan penempatan dana dari LPS.
Selanjutnya, LPS melakukan analisa berdasarkan permohonan dana dari OJK dan data terkait yang didapat dari Bank Indonesia. Lalu, sesuai UU LPS, lembaga ini juga akan melaporkan kerja mereka kepada Presiden dan DPR.
Tak urung penempatan dana LPS di bank jadi sorotan. Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Bank Nasional (Perbanas) Aviliani mengatakan, rencana penempatan dana LPS riskan.
Pertama, dasar penempatan dana melalui PP, yang berada di bawah UU. Sementara kewenangan LPS dalam UU adalah menangani bank jika telah ditetapkan gagal. Menurutnya, lebih tepat jika lebih dahulu, dibuat peraturan pemerintah pengganti undang-undang atau perppu yang lebih tinggi dibandingkan dengan PP.
Kedua, Aviliani juga mempertanyakan sumber dana yang berasal dari kocek LPS. Alhasil, jika bank yang menerima penempatan dana dari LPS ini akhirnya jadi bank gagal, maka nantinya akan dihitung sebagai kerugian negara.
Namun, hal itu juga sudah diantisipasi. Untuk menempatkan dana, LPS meminta jaminan dan syarat dari bank maupun pemegang saham pengendali bank tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News