Reporter: Ferrika Sari | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Banyak pihak menanti kehadiran Undang-Undang (UU) Financial Technology (Fintech) di tengah maraknya fintech ilegal serta penagihan pinjaman bermasalah. Kehadiran regulasi saat ini dirasa belum mampu menindak fintech ilegal, khususnya pemilik perusahaan.
Dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), konsumen, Polri hingga Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) mendukung adanya UU Fintech. Nantinya aturan ini akan memperjelas landasan hukum dari sisi pengaturan, pengawasan, pihak yang dilibatkan hingga sanksi yang dikenakan.
Kanit Tipideksus Bareskrim Polri Kompol Setyo Bimo Anggoro menganjurkan adanya harmoninasi aturan lewat UU karena selama ini pemberian izin fintech tidak terintegrasi dan berbeda di tiap lembaga atau Kementerian.
Baca Juga: P2P Lending, Harapan Baru UKM Mendapatkan Pinjaman Usaha
Ia mencontohkan bahwa izin pendirian perusahaan di Kemenkumham, izin usaha di OJK serta pengoperasian aplikasi melalui izin Google atau Kemenkominfo.
“Regulasi harus dibereskan dahulu. Kalau regulasi masing-masing ada POJK, peraturan Kominfo dan aturan lain yang tidak harmonis maka akan selalu ada masalah di fintech, seperti fintech ilegal. Jadi, kita butuh UU untuk mengharmonikasi aturan lain,” kata Bimo di Jakarta, pekan lalu.
Hingga saat ini, kepolisian kesulitan untuk menindak fintech ilegal karena mereka tidak terdata, baik dari identitas pemberi pinjaman (lender), peminjam (borrower), pemilik perusahaan dan sumber dana. Akibatnya, sulit menjatuhkan sanksi berat bagi perusahaan fintech yang beroperasi tanpa izin karena ketiadaan UU.
Baca Juga: Implementasikan QRIS, LinkAja lakukan digitalisasi pasar
Padahal, kepolian telah menerima lebih dari 100 pengaduan terkait fintech, di mana mayoritas masalah penagihan. Pengaduan tersebut sekarang baru bisa diproses melalui hukum pidana umum, hukum tindak pidana khusus dan tindak pidana cyber crime.
Untuk pidana umum, seperti kasus pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, pemerasan dan pengancaman. Biasanya, penagih kredit melakukannya kepada peminjam.
Sedangkan tindak pidana khusus, seperti penggunaan pendanaan terorisme atau pencucian uang melalui transaksi di fintech. Sedangkan cyber crime melalui penyadapan data, penyebaran data pribadi, pengiriman gampar porno, memanupulasi data dan lainnya.
Sejak 2018 sampai Oktober 2019, Satgas Waspada Investasi (SWI) telah memblokir situs maupun aplikasi dari 1.477 fintech ilegal. Naasnya, fintech tersebut beroperasi kembali dengan nama berbeda sehingga sulit diberantas.
Deputi Komisioner OJK Institute dan Keuangan Digital Sukarela Batunanggar menyatakan bahwa Peraturan OJK (POJK) Nomor 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi hanya menindak pemain legal. Maka dengan UU Fintech akan bisa melengkapi aturan yang ada.
Tapi untuk mendorong aturan tersebut, tentunya diperlukan kolaborasi berbagai pihak, seperti pemerintah, OJK dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Saat ini UU tersebut baru sekadar wacana.
Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede mengaku pihaknya telah menyiapkan kajian yang akan disampaikan kepada DPR agar bisa dirumuskan. Harapannya, aturan itu bisa cepat direalisasikan tapi mesti bersabar karena anggota dewan baru saja dilantik.
Baca Juga: Multifinance lanjutkan tren negatif pada pembiayaan UKM hingga kuartal III 2019
Kehadiran UU Fintech akan lebih baik juga dilengkapi UU Data Perlindungan Data Pribadi. Tumbur mengeluhkan kenapa pembatasan akses data nasabah hanya dikenakan fintech lending, tetapi juga platform lain. Selama ini, fintech lending hanya boleh mengakses kamera, microphone dan lokasi nasabah.
Ketua Komunitas Konsumen Indonesia David ML Tobing menyetujui adanya UU Fintech dan UU Perlindungan Data Pribadi demi memberikan perlindungan kepada konsumen. Hal ini untuk mengantisipasi penyalahgunaan data. Maka itu transaksi fintech mesti diawasi dan diatur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News