kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.508.000   10.000   0,67%
  • USD/IDR 15.930   -61,00   -0,38%
  • IDX 7.141   -39,42   -0,55%
  • KOMPAS100 1.095   -7,91   -0,72%
  • LQ45 866   -8,90   -1,02%
  • ISSI 220   0,44   0,20%
  • IDX30 443   -4,74   -1,06%
  • IDXHIDIV20 534   -3,94   -0,73%
  • IDX80 126   -0,93   -0,74%
  • IDXV30 134   -0,98   -0,72%
  • IDXQ30 148   -1,09   -0,73%

Pengamat: Pembiayaan Fintech Lending di Sektor Produktif Berisiko Tinggi


Senin, 15 Juli 2024 / 20:35 WIB
Pengamat: Pembiayaan Fintech Lending di Sektor Produktif Berisiko Tinggi
ILUSTRASI. Pengamat Celios menilai pebiayaan fintech lending di sektor produktif memiliki risiko yang tinggi.


Reporter: Ferry Saputra | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyetujui pengembalian izin usaha penyelenggara Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI) atau fintech peer to peer (P2P) lending PT Akur Dana Abadi (Jembatan Emas) dan PT Semangat Gotong Royong (Dhanapala). Artinya, kedua fintech yang bergerak di sektor produktif itu telah dicabut izin usaha dan berhenti beroperasi.

Berhentinya dua fintech lending tersebut memberikan sinyal bahwa sektor produktif, termasuk pembiayaan ke UMKM, masih berisiko tinggi. Sejumlah fintech lending produktif juga tercatat mengalami gagal bayar. Sebut saja, Investree dan iGrow, bahkan Tanifund juga telah dicabut izin usahanya baru-baru ini.

Mengenai hal itu, Pengamat sekaligus Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyebut banyaknya kasus gagal bayar fintech lending di sektor produktif memang tak terlepas dari risiko yang begitu tinggi.

Baca Juga: OJK Ingatkan Bank Agar Hati-hati dalam Menyalurkan Kredit Lewat Pinjol

"Pinjaman macet untuk badan usaha mempunyai share kredit macet paling tinggi di angka 8%, sedangkan untuk kredit macet perorangan mencapai 2%. Artinya, untuk sektor produktif mempunyai risiko yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor konsumtif," katanya kepada Kontan, Senin (15/7).

Nailul beranggapan bahwa risiko yang tinggi di sektor produktif karena ketiadaan dua hal. Pertama, credit scoring yang digunakan belum mampu menunjukkan kemampuan bayar yang sebenarnya dari calon borrower. 

"Selama ini, di sektor produktif pun penghitungan credit scoring masih menggunakan data alternatif. Seharusnya sudah bisa terintegrasi dengan data Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) sebagai data filtering awal bad debitur," ujarnya.

Kedua, Nailul bilang ketiadaan opsi asuransi kredit sektor produktif, yang mana sebagian besar adalah industri UMKM karena plafon yang ditawarkan maksimal Rp 2 miliar. Dia mengatakan seharusnya ada opsi asuransi kredit dan dijadikan sebagai salah satu value dalam credit scoring serta ditampilkan di halaman borrower. Dengan demikian, lender bisa mengetahui calon borrower-nya mempunyai asuransi atau tidak.

Menurut Nailul, risiko yang tinggi itu juga yang menyebabkan platform fintech P2P lending lebih memilih menyalurkan ke sektor konsumtif. Ditambah pangsa pasarnya juga lebih besar sektor konsumtif. 

Baca Juga: Sejumlah Perbankan Masih Hati-Hati dalam Menyalurkan Kredit ke Pinjol

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×