Reporter: Ruisa Khoiriyah | Editor: Test Test
JAKARTA. Pengambilan wewenang pengawasan perbankan dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mutlak harus dilakukan mengingat amanat Undang-Undang sudah menegaskan hal tersebut sedari mula. Meskipun BI bersikeras meminta pemerintah, bahkan mengirim permintaan tertulis khusus kepada Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa pada medio April lalu (KONTAN, 10 Mei 2010), agar wewenang pengawasan tetap ada di tangan bank sentral, hal tersebut tidak akan menjadi alasan bagi pembatalan amanat pembentukan OJK.
Demikian ditegaskan oleh Ketua Komisi XI Emir Moeis di Jakarta, Senin (10/5). "Pembentukan OJK itu amanat UU yang harus dipenuhi. Dan dalam OJK, disebutkan bahwa wewenang pengawasan perbankan yang selama ini dipegang oleh BI akan dilepaskan kepada OJK. Jadi, tak perlu BI kirim surat ke Hatta (Rajasa), " katanya.
Rancangan UU OJK saat ini sudah sampai di Badan Legislasi (Baleg), sebelum nanti dibawa ke Komisi XI untuk dibahas. Emir menambahkan, DPR mengejar waktu untuk segera memulai pembahasan UU OJK tersebut. "Padahal harus dibentuk tahun ini, sesuai amanat UU," katanya.
Anggota Komisi XI DPR Arif Budimanta menambahkan, DPR hanya memiliki sisa waktu dua kali masa sidang untuk menuntaskan pembahasan UU OJK tersebut. "Tapi sampai sekarang draft-nya belum sampai (ke Komisi XI)," ujarnya.
Seperti diketahui, pembentukan OJK sejatinya merupakan amanat dari pasal 34 UU BI Tahun 2004. Dalam UU tersebut ditegaskan, fungsi pengawasan perbankan harus diserahkan pada lembaga khusus pengawas yang biasa dikenal sebagai OJK. Namun, sejak awal BI cenderung keberatan dengan amanat UU-nya sendiri. Di sisi lain, pemerintah selaku pihak yang diserahi tugas untuk menyusun draft OJK menginginkan pengawasan perbankan dilepas dari bank sentral. Walhasil, sejak beberapa tahun terakhir ini isu silang pendapat antara Thamrin dan Lapangan Banteng terkait pemegang wewenang pengawasan perbankan terus menggema.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News