Reporter: Tim KONTAN | Editor: Indah Sulistyorini
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pandemi Covid-19 berdampak luas, tidak hanya pada kesehatan manusia tetapi juga perekonomian berupa gangguan pada program penghapusan kemiskinan dan menghambat kemajuan pada tujuan pembangunan berkelanjutan.
Di sisi lain, pandemi ini yang menyadarkan kita betapa pentingnya isu-isu keuangan berkelanjutan (sustainable finance) ke depannya. Selain itu, pandemi juga memunculkan kesempatan untuk membuat langkah-langkah persiapan, terutama di industri keuangan pada saat pemulihan pasca pandemi.
Menanggapi hal tersebut Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menyelesaikan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II (2021 - 2025) untuk mempercepat penerapan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola di Indonesia. Sebagai regulator, OJK juga telah menerbitkan aturan serta insentif bagi penerbitan obligasi/sukuk hijau. Selain itu, OJK juga telah memberikan insentif bagi pengembangan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai.
Secara terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga telah menegaskan bahwa Indonesia harus memiliki andil dalam membentuk tatanan baru, seperti ikut serta dalam mengatasi perubahan iklim. Isu perubahan iklim merupakan ancaman global yang juga sama besarnya dengan pandemi Covid-19.
Peran ini tidak hanya terbatas pada pemerintah, tetapi juga partisipasi swasta. Elemen pembiayaan dalam menurunan emisi karbon sangat penting sehingga diperlukan berbagai inisiatif juga dari sektor jasa keuangan untuk ikut berperan dalam melestarikan lingkungan. Sudah banyak pengelola dana besar yang mengalihkan sebagian investasinya pada instrumen investasi yang mendukung pelestarian lingkungan.
Partisipasi sektor swasta ini bisa menjadi stimulan bagi upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia. Dalam kajian Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, kemampuan negara dalam pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim masih sangat terbatas, hanya sekitar 34% dari yang dibutuhkan. Itu sebabnya pelibatan sektor swasta menjadi penting.
Adanya inti keberlanjutan yang kuat tidak hanya baik untuk planet ini, tetapi juga penting untuk pertumbuhan bisnis dan profitabilitas. Investor semakin memperhatikan berbagai faktor seperti jejak karbon perusahaan, penggunaan air, upaya pengembangan komunitas, dan keragaman dewan direksi yang penting bagi proses pengambilan keputusan mereka.
Partisipasi Aktif Perbankan dalam Isu Keberlanjutan
Tak bisa dipungkiri, banyak masyarakat yang belum menyadari pentingnya perekonomian berkelanjutan dan dampaknya bagi lingkungan serta kehidupan di masa mendatang. Untuk itu perbankan dapat berperan mendukung sosialisasi serta menggerakkan perubahan industri untuk berpindah dari praktik konvensional ke pengelolaan usaha secara berkelanjutan.
Salah satu implementasi riil dari pendanaan yang berkelanjutan adalah dengan tidak memberikan pinjaman modal bagi usaha yang berpotensi merusak lingkungan. Karena itu, lembaga keuangan didorong untuk bisa mengintegrasikan prinsip lingkungan, sosial, dan tata kelola usaha ke dalam kebijakan kredit dan investasi yang diberikannya.
Menjawab isu-isu tersebut, Standard Chartered Group baru-baru ini juga mengumumkan target baru untuk mencapai emisi karbon nol bersih dari aktivitas yang didanainya pada tahun 2050, termasuk target sementara 2030 untuk sektor yang paling intensif karbon.
Standard Chartered juga akan menghentikan pembiayaan di tingkat entitas perusahaan yang berekspansi di batu bara termal, dengan penyediaan layanan keuangan yang berkelanjutan kepada nasabah/induk perusahaan akan tunduk pada uji kelayakan (due diligence) yang ditingkatkan.
Di samping larangan yang sudah ada untuk tidak membiayai pembangkit listrik tenaga batu bara baru serta perluasannya, Standard Chartered Group juga akan untuk mengurangi emisi pertambangan batu bara termal yang dibiayai secara absolut sebesar 85 persen pada 2030.
Tidak hanya di level global, Standard Chartered juga secara aktif menunjukkan komitmennya dalam mendukung program pembangunan berkelanjutan pemerintah Indonesia melalui solusi-solusi keuangan berkelanjutannya. Komitmen tersebut sejalan untuk mendukung pembangunan sosial dan ekonomi nasional melalui fokus bisnis yang dijalankan bank di sektor perbankan.
Pada Juni 2021, Standard Chartered mengambil bagian sebagai Joint Green Structuring Advisor dalam penerbitan sukuk hijau senilai 750 juta Dolar AS dari pemerintah Republik Indonesia.
Di 2021, Standard Chartered berpartisipasi sebagai salah satu bank yang berpartisipasi dalam proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di Cirata, Jawa Barat, yang merupakan PLTS Terapung terbesar di Asia Tenggara.
Berbagai bentuk partisipasi nyata, perusahaan jasa keuangan multinasional yang berpusat di London, Inggris ini merupakan bukti bahwa Bank ini telah lama turut andil dalam isu lingkungan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan bagi masa depan. Bahkan sejak tahun 1997, Standard Chartered adalah salah satu bank pertama di dunia yang memasukkan unsur lingkungan dan sosial dalam kerangka manajemen risiko.
Tidaklah mengherankan bila Standard Chartered dinobatkan sebagai “the World’s Best Bank in Sustainable Finance” dari Global Finance pada 2019 yang menilai bahwa Standard Chartered unggul dalam hal pinjaman “hijau”, berkat cakupan produk, jangkauan geografis, dan luas industri yang dijangkaunya.
Bank yang bervisi untuk menjadi bank paling berkelanjutan dan bertanggung jawab di dunia ini akan terus menggulirkan program, produk dan aksi nyata untuk berkontribusi pada upaya melawan perubahan iklim, sebagai wujud nyata dari janji “Here for good”, untuk hadir membawa kebaikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News