Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Pemangkasan penyaluran kredit perbankan ke sektor pertambangan khususnya batubara tampaknya masih menghadapi jalan terjal dan akan memakan waktu yang sangat panjang untuk memenuhi komitmen pemerintah dan industri untuk mengurangi emisi.
Data terbaru Bank Indonesia mencatat, penyaluran kredit perbankan ke sektor pertambangan dan penggalian meningkat menjadi Rp 263,1 triliun per Oktober 2023, angka ini naik sebesar 8,99% secara tahunan atau year on year (YoY) dari tahun lalu Rp 241,4 triliun dan juga meningkat jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya Rp 259,0 triliun per September 2023.
Tak ayal, hal ini sejalan dengan realisasi industri tambang batubara yang produktif tahun ini, di mana produksi batubara nasional bahkan sudah melampaui target pemerintah, setidaknya di awal Desember 2023 sudah mencapai 701,04 juta ton, lewat dari target sebesar 694,5 juta ton pada tahun ini.
Baca Juga: Mandiri Capital Gandeng Bank BTN Luncurkan BTN Fund, Ini Tujuannya Asal tahu saja, selama 20 tahun terakhir sektor energi menjadi penyumbang emisi karbon terbesar di Indonesia yakni sebesar 32%. Dari jumlah tersebut, sektor pembangkit listrik terutama pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batubara merupakan kontributor terbesar dari sektor energi.
Belum lagi menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat jumlah populasi Indonesia pada pertengahan 2023 sudah naik 1,05% dari tahun lalu menjadi 278,69 juta jiwa. Angka tersebut tentunya akan mendongkrak tingkat kebutuhan energi dalam negeri.
Ekonom dan Pengamat Pasar Modal Budi Frensidy mengatakan hal tersebut sejalan periode yang panjang terkait larangan untuk industri menggunakan batubara, serta aturan kredit yang berlaku masih lama. Di sisi lain, sektor batubara masih menjadi sektor penghasil cuan yang besar bagi perbankan.
"Saya pikir begitu, jangan lupa industri batubara kan penghasil devisa ekspor dan andalan pajak untuk pemerintah," kata dia kepada Kontan, Rabu (6/12).
PT UOB Indonesia misalnya, yang diketahui masih memberikan pembiayaan ke sektor Batubara, hal ini disampaikan oleh Head of Strategic Communications and Brand UOB Indonesia Maya Rizano.
Baca Juga: Aksi Akuisisi Bank Masih Marak, Pengamat Menilai Bisnis Bank Masih Prospektif
"Tentu kita tidak bisa mengurangi 100%, dan tidak mungkin tiba-tiba kita memberhentikan financing kepada perusahaan yang justru bergantung sekali dengan financing kita dalam jangka waktu panjang, karena pada akhirnya akan berdampak pada labour," kata dia kepada Kontan, Rabu(6/12).
Meski begitu, Maya bilang pihaknya sudah mulai bergerak ke arah sustainable atau mencari area-area bisnis yang tentu akan mengurangi dampaknya (emisi), dan menjalankannya secara bertahap, di sisi lain, sertifikasi sustainability untuk perusahaan-perusahaan ini juga perlu waktu.
"Kami sangat berkomitmen, kami juga sudah memiliki satu divisi ESG yang berperan untuk memastikan kredit kita kepada perusahaan-perusaaan yang masih berdampak pada fosil, batubara, agar dapat seiring dengan waktu yang diadaptasikan dengan sustainable framework kami di UOB," kata dia.
Maya menyebut, UOB sendiri memiliki 5 sustainable frame work yang bergerak di bidang berbagai beberapa industri, seperti properti, konstruksi, dan batubara, energi.
"Sudah ada framework-nya. Jadi apapun financing yang akan kita berikan kedepannya sudah harus memiliki sertifikasi sustainability. Tentunya sedang berjalan dan tetap jalan dulu," kata dia
Sementara itu EVP Corporate and Communication PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), Hera F Haryn mengatakan dalam pemberian kredit kepada sektor industri berisiko tinggi, BCA memiliki prosedur mitigasi risiko yang ketat, di antaranya adalah kebijakan pembiayaan batu bara.
Baca Juga: Ini Daftar Perbankan Dengan Kredit Hijau Terbesar
Melalui kebijakan ini, BCA mengintegrasikan evaluasi risiko lingkungan dan sosial secara bertahap serta mengarahkan pada rantai bisnis yang berwawasan lingkungan.
Hera merinci komposisi kredit perseroan untuk sektor batubara sangatlah kecil, yakni kurang dari 1% dari total kredit yang disalurkan perseroan per September 2023 dan tidak mengalami kenaikan yang berarti.
"BCA tidak memproyeksikan maupun meningkatkan pembiayaan batubara, namun penyaluran kepada sektor batubara umumnya dilakukan untuk mendukung penyediaan pasokan listrik bagi masyarakat yang sampai saat ini energi primer pembangkit listrik di Indonesia masih berasal dari batu bara," kata dia kepada Kontan, Rabu (6/12).
Di sisi lain, BCA terus mendorong portofolio kredit keuangan berkelanjutan (sustainable finance). Per September 2023, penyaluran kredit ke sektor-sektor berkelanjutan tumbuh 11,9% YoY menjadi Rp193,2 triliun, atau berkontribusi hingga 25,0% terhadap total portofolio pembiayaan BCA.
Baca Juga: Ini Bank Jawara Penyalur Kredit Hijau di Indonesia
Pembiayaan berkelanjutan BCA salah satunya mengalir ke sektor energi terbarukan, dengan total kapasitas energi yang dihasilkan mencapai 210 MW, yang terdiri dari Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM), Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), dan Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg), hingga Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
"Selain meningkatkan pembiayaan berkelanjutan, BCA senantiasa berkoordinasi dan berkomunikasi dengan seluruh pemangku kepentingan, termasuk regulator dan otoritas, dalam rangka mendukung pencapaian target penurunan emisi karbon serta Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia," kata Hera.
Sementara itu PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA) juga masih menyalurkan kredit ke segmen ini. Direktur Business Banking CIMB Niaga Rusly Johannes menyebut bank baru akan benar-benar menghentikan pembiayaan batubara termal pada tahun 2040 mendatang.
Namun meski begitu CIMB Niaga sudah mulai melakukan langkah untuk mengurangi emisi karbon untuk mencapai target Net Zero pada 2050.
Baca Juga: Perbankan Semakin Getol Kucurkan Kredit Hijau, Siapa yang Terbesar?
"Sejak tahun 2021, CIMB Group termasuk CIMB Niaga telah mendeklarasikan tiga komitmen, selain menghentikan kredit ke batubara termal, kami juga targetkan mencapai Net Zero Green House Gas (GHG) emissions scope 1 & 2 pada tahun 2030, serta mencapai Net Zero GHG emissions scope 1, 2 & 3 pada tahun 2050," jelasnya kepada Kontan, Rabu (6/12).
Salah satu upaya CIMB Niaga dalam komitmen ESG dilakukan dengan berbagai langkah, salah satunya adalah dengan program SLL/F CIMB Niaga menawarkan insentif bagi nasabah yang berhasil mencapai target kinerja keberlanjutan sesuai kesepakatan di awal program.
Selanjutnya adalah program Sustainable Finance (SF) ditujukan kepada nasabah pembiayaan CIMB Niaga yang bergerak dibidang usaha sesuai KKUB.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News