Reporter: Adrianus Octaviano | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Alih-alih mengalami perbaikan, penyaluran kredit perbankan justru terlihat kian minim. Bagaimana tidak, sisa dua bulan menuju akhir tahun, pertumbuhan kredit melaju lambat hingga Oktober 2025 dengan hanya tumbuh 7,36% secara tahunan (YoY).
Laju pertumbuhan kredit tersebut pun pada akhirnya kembali melambat dan menjauhi target Bank Indonesia (BI) terkait pertumbuhan kredit. Seperti diketahui, BI menargetkan pertumbuhan kredit hingga akhir tahun ada di kisaran 8% hingga 11%.
Jika melihat dua bulan terakhir, sejatinya pertumbuhan kredit sudah kembali dalam tren yang membaik. Sebagai gambaran, kredit perbankan per Juli 2025 tumbuh 7,03% YoY dan melesat 7,56% YoY pada Agustus 2025. Di September 2025, kredit perbankan juga sempat menyentuh pertumbuhan hingga 7,7% YoY.
Gubernur BI Perry Warjiyo mengungkapkan, permintaan kredit memang belum kuat karena dipengaruhi oleh sikap pelaku usaha yang masih menahan ekspansi, optimalisasi pembiayaan internal oleh korporasi, dan suku bunga kredit yang masih relatif tinggi.
Baca Juga: Gelontoran Insentif Likuiditas Makroprudensial BI Meningkat, Apa Dampak ke Perbankan?
Kondisi tersebut diperkuat pula dengan Fasilitas pinjaman yang belum dicairkan (undisbursed loan) pada Oktober 2025 masih cukup besar, yaitu mencapai Rp2.450,7 triliun atau 22,97% dari plafon kredit yang tersedia.
Di sisi lain, Perry bilang dari sisi penawaran kredit dari perbankan sejatinya sudah cukup mumpuni untuk mendorong ekspansi kredit.
Dalam hal ini, ia mencontohkan sudah ada beberapa insentif yang diberikan mulai dari Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) hingga insentif likuiditas dari Kementerian Keuangan terkait penempatan dana Saldo Anggaran Lebih (SAL).
“Tinggal menunggu bank menurunkan bunga deposito dan kredit untuk menambah kekuatan dari sisi supply,” ujar Perry, Rabu (19/11).
Lebih lanjut, ia bilang BI juga terus menjalin koordinasi bersama Kementerian Keuangan untuk mendorong permintaan kredit dari sisi fiskal. Menurutnya, dorongan dari sisi fiskal menjadi penting agar permintaan kredit yang selama ini menjadi masalah bisa terselesaikan.
Baca Juga: Penyaluran Kredit Perbankan Kian Melambat, Menjauhi Target BI
Perry bercerita pihaknya juga sudah bertemu dengan Wakil Menteri Keuangan Thomas Djiwandono dalam Rapat Dewan Gubernur, pada Rabu (19/11/2025). Dalam kesempatan tersebut, Perry bilang Kementerian Keuangan telah membantu dengan dorongan untuk mempercepat pengeluaran pemerintah.
“Tidak hanya kementerian dan lembaga tetapi juga tambahan program perlindungan sosial dan ekonomi kerakyatan,” ujar Perry.
Dengan kondisi tersebut, Perry berharap ekspansi fiskal ini pada akhirnya bisa mendorong konsumsi masyarakat, investasi dunia usaha dan produksinya meningkat. Alhasil, permintaan kredit bisa meningkat dari sektor riil dan pertumbuhan kredit kembali naik.
Laju pertumbuhan kredit yang melambat pun turut dialami oleh PT Bank Central Asia Tbk (BCA) di periode yang sama. Sebagai informasi, bank dengan laba terbesar di Indonesia ini memiliki portofolio kredit per Oktober 2025 senilai Rp 923,54 triliun, atau tumbuh 7,6% YoY.
Mari bandingkan bulan-bulan sebelumnya. Pada Agustus 2025, kredit BCA mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi yaitu 9,2% YoY. Sementara, di bulan sebelumnya lagi, pertumbuhan kredit BCA mampu mencapai 10,95% YoY.
“Pada prinsipnya, kinerja penyaluran kredit akan sejalan dengan kondisi perekonomian Indonesia,” ujar EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA Hera F. Haryn, Rabu (19/11).
Hera melihat penyaluran kredit perbankan didasari pertimbangan berbagai faktor. Antara lain kondisi makroekonomi, strategi masing-masing perbankan, hingga dinamika permintaan dari masing-masing sektor dan segmen.
“Kami menargetkan pertumbuhan kredit 6-8% hingga akhir 2025,” tambah Hera.
Kondisi serupa dialami oleh PT Bank Maybank Indonesia Tbk yang juga mengalami perlambatan. Presiden Direktur Maybank Indonesia Steffano Ridwan bilang outstanding kredit mereka justru mengalami penurunan sekitar Rp 400 miliar secara bulanan.
Hanya saja, ia memiliki alasan berbeda terkait penurunan tersebut. Steffano bilang banyak debitur yang pada akhirnya melunasi kreditnya dan memilih untuk mengambil kredit lain ke bank lain yang menawarkan bunga lebih murah.
“Banyak pelunasan karena take over ke bank lain dan hubungannya terkait bunga,” ujar Steff.
Sementara itu, Senior Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Aviliani melihat sejatinya laju pertumbuhan kredit sudah ada tanda-tanda perbaikan. Meskipun, ia melihat untuk tahun ini mungkin hanya akan tumbuh di kisaran 7,5% hingga 8% dan akan membaik di tahun 2026 dengan kemungkinan tumbuh 9%.
Aviliani melihat salah satu penyebab penyaluran kredit yang lambat ini berasal dari permintaan kredit di perusahaan pelat merah. Di mana, ini ada kaitannya dengan perubahan kepemilikan perusahaan pelat merah dari Kementerian BUMN ke BP Danantara. Pada akhirnya, ia melihat perusahaan BUMN ini tak berani meminjam.
“Tapi paling tidak orang itu sudah konsumsi itu lebih bagus gitu,” pungkasnya.
Selanjutnya: Gelontoran Insentif Likuiditas Makroprudensial BI Meningkat, Apa Dampak ke Perbankan?
Menarik Dibaca: Pasar Kripto sedang Extreme Fear, Ini Saran Bagi Investor Kripto
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













