Reporter: Ferrika Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja asuransi umum cenderung melambat di sepanjang 2018. Secara rata-rata, pelaku usaha harus puas dengan pertumbuhan laba hanya satu digit.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sampai akhir 2018, industri asuransi umum meraih laba sebesar Rp 5,71 triliun. Realisasi itu tumbuh 4,59% dibandingkan tahun 2017, yaitu sebesar Rp 5,46 triliun.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Indonesia (AAUI) Dody A.S Dalimuthe menjelaskan, terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi realisasi laba dari perusahaan asuransi. Pertama, dari kenaikan jumlah beban usaha sebesar 11,78% menjadi Rp 11,96 triliun di 2018.
“Beban usaha memang naik sehingga mempengaruhi laba industri cenderung flat. Kalau melihat rasio beban usaha naik dari 19,58% menjadi 19,94%,” kata Dody, kepada Kontan.co.id, Rabu (20/2).
Jumlah beban usaha terbesar berasal dari beban pemasaran yang tumbuh 27,75%, disusul beban pegawai dan pengurus 14,78%, beban pendidikan dan pelatihan 7,75% serta beban umum dan administrasi lain 1,09%.
Selanjutnya, pertumbuhan laba juga disebabkan oleh faktor kinerja hasil investasi. Diketahui, hasil investasi industri asuransi umum turun tipis, yakni 3,37% menjadi Rp 4,25 triliun pada 2018. Padahal di tahun sebelumnya, hasil investasi masih sebesar Rp 4,40 triliun. “Hasil investasi yang turun juga turut mempengaruhi laba atau rugi perusahaan,” tambahnya.
Sementara faktor lainnya, adalah kenaikan jumlah beban underwriting yang membuat kinerja laba perusahaan tertekan. Jumlah beban underwriting meningkat 12,60% menjadi 20,37 triliun. Adapun beban tersebut berasal dari klaim bruto, klaim reasuransi dan cadangan klaim.
Perlambatan laba asuransi juga terdampak dari komponen biaya akuisisi dalam bentuk engineering fee yang makin menekan kondisi keuangan industri. Namun, Dody mengaku belum bisa mementukan seberapa besar komisi engineering fee dalam beban pemasaran yang mempengaruhi laba di tahun ini.
“Beban pemasaran memasukan engineering fee itu bisa jadi, tapi untuk penempatannya berapa persen di beban tersebut saya kurang tahu dan harus melihat data lebih dulu. Tetapi kenaikannya beban pemasaran lumayan besar dan pasar juga tumbuh,” jelasnya.
Yang pasti, banyak pelaku usaha berkompetisi untuk memasarkan produk mereka dengan memberikan engineering fee. Untuk bisa menang di pasar, mereka mengeluarkan biaya akuisisi cukup tinggi sehingga membebani biaya operasional perusahaan.
Akibatnya, pada tahun lalu, para pelaku industri telah sepakat tak lagi mengeluarkan biaya tambahan yang membebani biaya operasional perusahaan. Harapannya, melalui penghentian engineering fee ini bisa memperbaiki struktur keuangan perusahaan, diantaranya menekan beban pemasaran, kemudian hasil underwriting dan laba naik, serta memperbaiki hasil investasi.
Direktur Utama Asuransi Wahana Tata (Aswata) Christian Wanandi mengatakan secara umum, dengan dihapusnya engineering fee ini diharapkan bisa menurunkan beban kepada perusahaan asuransi. “Pada tahun ini strategi kami tetap saja tidak ada perubahan,” kata Christian.
Direktur Utama PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia (Cakrawala Proteksi), mengaku pihaknya menekan beban usaha melalui optimalisasi sumber daya manusia (SDM), meningkatkan sistem komputerisasi sehingga pekerjaan perusahaan bisa lebih efektif.
Menurutnya, kinerja beban usaha mempengaruhi perolehan laba dan pendapatan perusahaan. Maka itu, perusahaan akan meningkatkan pertumbuhan premi bruto sebesar 15% menjadi Rp 1,4 triliun 2019.
Untuk mencapai target tersebut, perusahaan berencana untuk membuka lima kantor pelayanan baru pada tahun ini. Kelima cabang itu tersebar di Pangkal Pinang, Batam, Tegal, Jakarta dan Gorontalo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News