Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia (BI) resmi melonggarkan rasio intermediasi makroprudensial (RIM) dari 80%-92% menjadi 84%-94%. Relaksasi dilakukan dengan tujuan agar perbankan dapat ruang likuiditas lebih, sehingga penyaluran pembiayaan dapat tumbuh sesuai target bank sentral di kisaran 10%-12%.
“Januari 2019 pertumbuhan kredit 12%, meningkat dibandingkan tahun lalu 11,8%, namun penguatannya belum cukup menopang PDB yang lebih signifikan. Di sisi lain dana pihak ketiga juga pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan kredit. Ini yang jadi alasan kami melonggarkan RIM,” kata Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia Linda Maulidina dalam jumpa pers, Senin (1/4).
Penghitungan RIM sebagai acuan likuiditas perbankan sejatinya lebih luas dibandingkan loan to deposit ratio (LDR). Sebab, RIM memasukkan kepemilikan instrumen utang sebagai indikator pembiayaan, dan penerbitan instrumen utang sebagai indikator pendanaan.
PT Bank Mandiri (persero) Tbk (BMRI, anggota indeks Kompas100 ini, ) misalnya guna menjaga level RIM sebagaimana yang ditetapkan, bank berlogo pita emas ini berencana menerbitkan obligasi korporasi senilai hingga US$ 1 miliar dalam waktu dekat.
“Dalam waktu dekat, kami akan menerbitkan global bond US$ 500 juta hingga US$ 1 miliar. Sedangkan posisi LFR kami saat ini masih stabil di level 94,4%,” kata Direktur Keuangan Mandiri Panji Irawan kepada Kontan.co.id, Senin (1/4).
Penerbitan obligasi bernominal dollar ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan tambahan pendanaan perseroan di luar dana pihak ketiga (DPK) yang diperkirakan mencapai US$ 2 miliar. Sementara sisanya akan dipenuhi melalui instrumen pendanaan lainnya.
Sayangnya, Panji mengaku relaksasi RIM tak serta merta akan mendongkrak pertumbuhan pembiayaan perseroan. Ia mengaku perseroan belum berencana mengubah rencana bisnis bank (RBB) guna mengoreksi target pertumbuhan kredit seiring implementasi relaksasi RIM pada Juli 2019 mendatang.
“Kami belum berencana mengubah target dalam RBB karena adanya relaksasi RIM,” sambungnya. Sedangkan untuk 2019 Mandiri menargetkan pertumbuhan kredit 12%-13%.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia (persero) Tbk (BBRI, anggota indeks Kompas100 ini, ) Haru Koesmahargyo. Meski menyambut baik relaksasi RIM, ia sepakat pertumbuhan kredit tak serta merta terakselerasi.
“Sejauh ini belum ada rencana merevisi target dalam RBB 2019, masih di kisaran 12%-14%, mengingat secara umum RIM kami masih berada dalam range terserbut. Hingga Desember 2018, di kisaran 88,5%,” kata Haru kepada Kontan.co.id.
Meski demikian, Haru mengatakan, dalam beberapa tahun ke depan, perseroan memang akan terus memupuk pendanaan di luar DPK. bank dengan aset terbesar di Indonesia ini berencana melakukan penawaran umum berkelanjutan sejak 2019 hingga 2021 dengan nilai total Rp 20 triliun.
Belum lama ini, perseroan juga baru menerbitkan sustainability global bond senilai US$ 500 juta guna memupuk pendanaan. “Tahun ini kami fokus untuk meningkatkan earning asset dalam bentuk penyaluran kredit khususnya ke sektor UMKM. Sedangkan kredit korporasi termasuk penerbitan obligasi korporasi akan tumbuh lebih moderat,” sambungnya.
Sebelumnya PT Bank Tabungan Negara (persero) Tbk (BBTN, anggota indeks Kompas100 ini, ) juga telah menyatakan relaksasi RIM tak akan berdampak pada likuiditas perseroan. Pasalnya baik RIM, maupun Loan to Deposit Ratio (LDR) perseroan selalu berada di atas batas ketentuan.
“Langkah BI merelaksasi RIM baik karena membantu likuiditas perbankan secara nasional, namun untuk kasus BTN kebijakan tersebut sifatnya netral. LDR kami selalu di atas 100%, RIM kami pun selalu berada di atas 94%,” kata Direktur Keuangan BTN Iman Nugroho Soeko kepada Kontan.co.id belum lama ini.
Iman menjelaskan hal tersebut terjadi sebab, bisnis inti perseroan di bidang penyaluran kredit pemilikan rumah (KPR) butuh dana jangka panjang. Sementara kalkulasi RIM hanya memperhitungkan instrumen berupa obligasi korporasi, medium term notes (MTN), dan floating rate notes (FRN).
Padahal kata Iman BTN punya banyak varian instrumen yang akan dirilis guna mencukupi memenuhi penyaluran kredit. Nah, lantaran tak dihitung dalam kalkulasi RIM maupun LDR, likuditas perseroan selalu terlihat ketat.
“Hanya obligasi yang masuk perhitungan RIM, sementara selain obligasi kami berencana menerbitkan KIK EBA sintetik, NCD, pinjaman bilateral, hingga global bonds mencapai Rp 12,5 triliun tahun Ini untuk mengantisipasi maturity risk mismatch,” paparnya.
Makanya meski direlaksasi, BTN pun tetap mematok pertumbuhan kredit di level 13%-15% pada 2019. Sementara posisi RIM perseroan pada Februari 2019 masih berada di level 102,22%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News