kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.042.000   -2.000   -0,10%
  • USD/IDR 16.445   2,00   0,01%
  • IDX 7.867   -18,52   -0,23%
  • KOMPAS100 1.102   -2,88   -0,26%
  • LQ45 800   1,11   0,14%
  • ISSI 269   -0,86   -0,32%
  • IDX30 415   0,50   0,12%
  • IDXHIDIV20 482   1,02   0,21%
  • IDX80 121   -0,09   -0,07%
  • IDXV30 132   -1,13   -0,85%
  • IDXQ30 134   0,17   0,13%

Riset Global Index 2025 Sebut Tingkat Inklusi Keuangan Indonesia Masih Rendah


Jumat, 05 September 2025 / 17:42 WIB
Riset Global Index 2025 Sebut Tingkat Inklusi Keuangan Indonesia Masih Rendah
ILUSTRASI. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) membeberkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2025. Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi, dan Pelindungan Konsumen OJK Friderica Widyasari Dewi mengatakan indeks literasi dan inklusi keuangan nasional mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.


Reporter: Vatrischa Putri Nur | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tingkat inklusi keuangan Indonesia masih terbilang rendah bila dibandingkan dengan rata-rata dunia dan negara ASEAN lainnya.

Laporan Global Financial Inclusion Index (Global FIndex) 2025 yang dirilis Bank Dunia menunjukkan tingkat inklusi keuangan Indonesia masih terbilang rendah yakni 52,39%, bahkan jauh di bawah rata-rata dunia yang di level 75,31%.

Selain itu, Indonesia juga masih lebih rendah dibanding tingkat inklusi negara-negara ASEAN lain. Seperti contoh Singapura yang di level 97,82%, Thailand di level 91,12%, Malaysia di level 87,18%, dan Vietnam 69,85%. 

"Padahal, tingkat inklusi keuangan sangat penting, karena semakin tinggi nilainya, semakin besar potensi pertumbuhan aset perbankan, baik dari sisi simpanan maupun penyaluran kredit," tulis riset NEXT Indonesia Center dalam keterangan tertulis, Jumat (5/9/2025).

Baca Juga: Tingkatkan Literasi dan Inklusi Keuangan, OJK Jangkau 81,3 Juta Peserta per Mei 2025

Tingginya inklusi keuangan warga Singapura yang mencapai 97,82%, tercermin dari besarnya nilai aset DBS, yang pada Juni 2025 mencapai US$ 656,1 miliar atau Rp 10.698 triliun. Capaian ini menjadikannya bank dengan aset terbesar di Asia Tenggara. 

Di sisi lain, bank pemerintah Malaysia (Maybank, CIMB, BSN) memiliki total aset US$ 438,8 miliar atau Rp 6.984 triliun, sementara gabungan empat bank Himbara Indonesia (Mandiri, BRI, BNI, BTN) baru mencapai US$ 381,2 miliar atau Rp 6.240 triliun, masih tertinggal jauh dibanding Malaysia dan Singapura.

Baca Juga: OJK Mendorong Inklusi Keuangan Masuk Rencana Pembangunan Daerah 2025-2029

Selain karena aset yang relatif kecil, bank-bank Himbara juga kesulitan bersaing di tingkat regional ASEAN karena net interest margin (NIM) yang terlalu lebar. 

NIM rata-rata Himbara secara konsisten berada pada tingkat yang tinggi di kisaran 3,75% - 5%, bahkan sampai di atas 6% untuk BRI. Nilai tersebut membuat bunga kredit bank Himbara lebih tinggi dibanding bank-bank lain di Asia Tenggara. 

Ekspansi Himbara ke luar negeri pun masih terbatas, lebih fokus mendukung kegiatan ekonomi dan finansial warga Indonesia di luar negeri, terutama dalam pengiriman uang dan perdagangan, sehingga pasar mereka tetap niche, seperti pekerja migran dan diaspora.

"Cara tercepat untuk meningkatkan daya saing regional ASEAN adalah melalui merger. Namun, rencana penggabungan ini menghadapi penolakan karena dianggap terlalu kompleks dan penuh risiko sehingga perlu dipertimbangkan secara hati-hati sebelum dijalankan," pungkasnya.

Baca Juga: Dongkrak Literasi dan Inklusi Keuangan Syariah, Begini Langkah BSI

Selanjutnya: Anutin Charnvirakul Terpilih menjadi Perdana Menteri Thailand yang Baru

Menarik Dibaca: Queen Mantis dan 5 Drakor Kriminal Pembunuh Sadis Penuh Misteri Menegangkan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×