Reporter: Galvan Yudistira | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kurs rupiah dalam beberapa bulan terakhir cukup berfluktuasi. Dari Mei-Juni 2018, kurs rupiah bahkan sempat konsisten di Rp 14.000 per dollar Amerika Serikat (AS).
Memang pada minggu pertama Juni 2018, rupiah sempat berada dikisaran Rp 13.800-Rp 13.900. Setelah Lebaran, rupiah kembali ke sekitar Rp 14.000 per dollar AS.
Kemarin (25/6), berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), rupiah ditutup di Rp 14.105 per dollar AS. Seiring dengan pelemahan rupiah, bagaimana efeknya ke risiko kredit impor?
Seperti diketahui, berdasarakan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Mei 2018, impor Indonesia meningkat cukup tinggi 28,12% secara tahunan atau year on year (yoy) membuat Indonesia defisit Indonesia makin lebar US$ 1,52 miliar.
Frans Alimhamzah, Direktur Bisnis Banking CIMB Niaga bilang dengan pelemahan rupiah maka diperkirakan volume impor akan mengalami penurunan. "Kami masih bisnis kredit impor seperti biasa," kata Frans kepada Kontan.co.id, Selasa (26/6).
Mohammad Irfan, Direktur Manajemen Risiko BRI bilang bank sudah melakukan mitigasi risiko kredit impor terkait pelemahan rupiah. "Misalnya melakukan hedging untuk produk nasabah yang dilakukan ekspor," kata Irfan kepada kontan.co.id, Selasa (26/6).
Hal ini agar cashflow nasabah bisa tetap aman. Boedi Armanto, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan II Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bilang biasanya efek pelemahan rupiah terjadi pada kredit impor yang merupakan barang konsumsi.
"Karena nanti harga jualnya lebih mahal," kata Boedi kepada kontan.co.id, Selasa (26/6). Sebagai gambaran, berdasarakan data OJK April 2018, rasio kredit bermasalah (NPL) di sektor impor naik .
Kenaikan ini terjadi baik di bulan sebelumya atau di periode sama tahun sebelumnya. NPL kredit impor per April 2018 2,31% naik dibandingkan periode sama 2017 1,85%. Jika dibandingkan dengan bulan Maret 2018 tercatat NPL kredit impor sebesar 2,25%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News