Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) di sektor pertambangan masih menjulang tinggi. Mandiri Sekuritas dalam risetnya yang dirilis (6/11) silam mengungkapkan, dari 12 bank besar, dalam tiga bulan terakhir hingga September 2017 terjadi peningkatan menjadi 9,7% dari posisi Juni 2017 sebesar 8,7%.
Padahal, saat ini harga komoditas tambang tengah naik. Mengutip pemberitaan Kontan.co.id (29/10) silam Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Harga BatuBara Acuan (HBA) di bulan Oktober di posisi US$ 93,99 per ton atau naik 2,13% dari bulan September di US$ 92,03 per ton.
Sedangkan, harga acuan batubara Newcastle kontrak pengiriman Januari 2018 pada Jumat (27/10) berada di level US$ 97,10 per metrik ton atau naik 34,86% yoy dari US$ 72.00 per metrik ton. Nah, dari 12 bank yang dianalisa oleh Mandiri Sekuritas tersebut, PT Bank Danamon Indonesia Tbk mencetak NPL tambang terbesar yakni mencapai 28,8%.
Menjawab masih tingginya NPL di sektor tambang tersebut, Direktur Keuangan dan bisnis mikro Bank Danamon Satinder PAl Singh Ahluwalia mengatakan, sampai dengan kuartal III 2017 pihaknya memang tengah meningkatkan kualitas aset. Hal ini pun dilakukan dalam rangka menekan laju NPL agar tidak semakin dalam. Salah satunya, melalui penerapan prosedur pengelolaan risiko yang prudent serta proses collection dan credit recovery yang disiplin.
Meski tidak merinci secara detil sektor mana saja yang menyumbang NPL terbesar, bank bersandi saham BDMN ini menyebut pada sembilan bulan pertama 2017, total kredit bermasalah perseroan sudah turun 6% menjadi Rp 3,9%. Capaian ini dinilai baik lantaran NPL industri sampai September 2017 naik 3% dari segi nominal dibandingkan tahun sebelumnya.
"Rasio kredit bermasalah (gross NPL) Danamon tercatat pada 3,3%, yang masih di bawah batas yang ditentukan regulator yaitu 5%," kata Satinder kepada Kontan.co.id, Jumat (10/11).
Lebih lanjut, Danamon menyebut dari segi biaya kredit (cost of credit) pihaknya juga telah melakukan efisiensi dengan penurunan sebanyak 25% secara tahunan menjadi Rp 2,5 triliun. "Rasio biaya kredit kami berada pada tingkat 2,6% atau membaik 90 basis poin (bps) dibandingkan setahun sebelumnya," tambahnya.
Selain Danamon yang mencatat NPL menjulang tinggi di sektor tambang, PT Bank CIMB Niaga Tbk dalam riset Mansek juga tercatat memiliki NPL sebesar 13,9% di sektor ini.
Presiden Direktur CIMB Niaga Tigor M. Siahaan mengatakan pihaknya memang tengah sedikit menjaga jarak di sektor pertambangan. "Kami pertambangan memang tidak fokus lagi, karena waktu itu CIMB Niaga memang kena banyak di pertambangan dan kita tidak masuk ke sana secara agresif, hanya beberapa klien saja," kata Tigor saat ditemui di Jakarta, Jumat (10/11).
Ke depan, guna tetap menekan laju NPL di sektor pertambagan pihaknya lebih memilih untuk fokus ke debitur yang memiliki rekam jejak yang baik. Sementara untuk kredit bermasalah, ada beberapa langkah yang sudah dilakukan perseroan antara lain dengan restrukturisasi atau write off. "Kami dorong Asset Management Unit (AMU) baik itu restructuring ataupun recovery tapi juga untuk bisnis yang baru kami pilih yang baik," tambahnya.
Memang secara total, NPL CIMB Niaga tengah mengalami penurunan. Tercatat sampai dengan September 2017 NPL perseroan berada di level 3,95% atau menurun dari posisi 4,21% di periode yang sama tahun lalu.
Jika dirinci per segmen, komersial masih menyumbang NPL terbesar yakni mencapai 8% di sembilan bulan pertama tahun 2017, meski menurun 30 bps dari periode tahun sebelumnya.
Selain kedua bank tersebut, PT Bank Negara Indonesia Tbk (BNI) juga mencetak NPL sektor tambang cukup tinggi yakni mencapai 9,7%. Menanggapi hal tersebut, Wakil Direktur Utama BNI Herry Sidharta mengatakan pihaknya memang tengah melakukan proses restrukturisasi kredit terutama di sektor tambang.
Menurut Herry, saat ini kecenderungan sektor tambang yang tengah membaik berperan banyak dalam pembenahan kredit bermasalah sektor pertambangan. "NPL yang ada di satu grup perusahaan saat ini dalam proses restrukturisasi karena sudah membaiknya sektor tambang, terutama di sektor tambang batubara," ungkapnya.
Lebih lanjut, Herry menambahkan pihaknya optimistis tahun depan kredit bermasalah di sektor ini sudah dapat membaik alias masuk dalam kategori lancar. Catatan saja, sampai dengan kuartal III 2017 BNI telah melakukan restrukturisasi kredit mencapai Rp 30,87 triliun.
Jika dirinci berdasarkan sektor usahanya, sektor pertambangan menyumbang 9,5% dari total restrukturisasi. Sementara penyumbang terbesar masih berada di sektor manufaktur sebesar 21,3%, serta sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 21,1%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News