Reporter: Ferrika Sari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Satuan Tugas Waspada Investasi telah menjaring 297 entitas fintech peer to peer (P2P) lending ilegal sampai akhir Oktober 2019. Mereka beroperasi tanpa izin resmi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Pada 7 Oktober 2019, Satgas Waspada Investasi juga telah menjaring 133 entitas fintech lending ilegal. Total entitas yang telah ditemukan mencapai 1.773 fintech terhitung sejak tahun lalu. Dari temuan itu, situs dan website mereka langsung ditutup oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).
Baca Juga: Hadapi tantangan ekonomi, BI berkomitmen jaga stabilitas sistem keuangan
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongan L Tobing mengaku kesulitan memberantas fintech ilegal tersebut karena mereka muncul kembali dengan nama baru seiring kemudahan pembuatan aplikasi dan web di tengah masyarakat.
Modus fintech ilegal bukan hanya melalui aplikasi, tetapi penyebarannya juga melalui sosial media seperti Facebook dan Instagram.
“Kondisi saat ini mengkhawatirkan. Bagaimana fintech ini muncul kembali dengan nama baru, mereka tinggal berganti nama saja. Memang niat jahat para pelaku menjalankan kegiatan fintech ilegal ini sangat sulit diatasi,” kata Tongam di Jakarta, Kamis (31/10).
Baca Juga: Distribusi Voucher (DIVA) yakin kinerja tahun 2020 tumbuh double digit, ini alasannya
Direktorat Siber Polri Kompol Silvester Simamora menilai kesulitan pemberantasan fintech ilegal karena saat ini Indonesia belum punya regulasi untuk menindak mereka, seperti Undang-undang (UU) Fintech. Yang ada, baru Peraturan OJK (POJK) Nomor 77/POJK/01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi.
Selama ini, Direktorat Siber Polri menindak fintech ilegal seputar penagihan kredit bermasalah. Biasanya, mereka ditindak melalui UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), seperti kasus pencemaran nama baik.
Laporan yang diterima polisi, bahwa pelapor merasa dicemarkan nama baiknya karena penagih menyebarkan data pribadi melalui grup WhatsApp tau Facebook.
“Modusnya, peminjam yang tidak bayar kemudian foto mereka dimodifikasi tanpa pakaian sehingga jadi gambar pornografi dan disebar ke grup sehingga semua keluarga tahu dan dilaporkan dalam pencemaran nama baik,” ungkap Silvester.
Meski beresiko, tapi pinjaman fintech tetap menggiurkan khususnya untuk memenuhi kebutuhan mendadak yang nilainya kecil serta persyaratan tidak terlalu ketat seperti perbankan yang harus memberikan jaminan. Masalahnya muncul, ketika peminjam tidak melunasi kredit dan penagihan yang dilakukan tanpa etika.
Tahun lalu, Kepolisian juga telah menindak penagih dari fintech Vloan sampai akhirnya masuk pengadilan Jakarta Barat. Bareskrim menetapkan empat karyawan Vloan sebagai tersangka terkait praktik penagihan bermasalah.
Baca Juga: Nasabah BRI mau cek mutasi rekening, bisa lewat BRImo
Vloan dapat mengakses seluruh data-data yang ada di dalam telepon genggam nasabah. Saat mengajukan peminjaman, nasabah pun harus menyertakan nama sesuai Kartu tanda Penduduk (KTP), Nomor Induk Kependudukan (NIK), tanggal lahir, alamat, nomor rekening bank, pekerjaan, tanda pengenal, tempat bekerja, serta swafoto dengan memegang KTP dan lima nomor telepon darurat yang bisa dihubungi.
Pinjaman yang dapat diberikan Vloan adalah sebesar Rp 600.000 - Rp 1,2 juta dengan jangka waktu pengembalian tujuh hari dan 14 hari. Akan tetapi, uang pinjaman yang dikirimkan Vloan tidak sesuai dengan kesepakatan awal.
Misalnya, jika nasabah meminjam Rp 1 juta maka dana yang dikirim berbeda, di antaranya Rp 825.000, Rp 875.000, dan Rp 900.000. Selain itu, aplikasi ini juga tidak mengirimkan dananya melalui rekening bank, melainkan melalui jasa payment.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News