Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Dina Hutauruk
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ancaman siber di Indonesia kian kompleks dan terorganisasi. Modus penipuan digital terus berevolusi, dari pencurian identitas, pembobolan akun, pemalsuan dokumen, hingga manipulasi menggunakan teknologi deepfake.
Data OJK dan Indonesia Anti Scam Center (IASC) mencatat, kerugian akibat penipuan online telah menembus Rp2,6 triliun hingga Mei 2025.
Kejahatan digital kini tidak lagi dilakukan individu, melainkan jaringan yang memanfaatkan celah antar sistem. Mereka menyebarkan identitas palsu, memanipulasi dokumen, dan menyasar kelemahan sistem, baik milik individu maupun institusi.
Menanggapi lonjakan risiko ini, CEO Privy Marshall Pribadi menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam membangun pertahanan digital yang solid. “Ancaman tidak datang dari satu arah. Mereka bekerja sebagai jaringan. Maka, kita butuh ekosistem pertahanan yang terhubung,” ujar Marshall dalam keterangannya, Minggu (20/7).
Baca Juga: LPS Dapat Serangan Siber 2,2 Miliar Kali dalam Dua Minggu
Salah satu langkah krusial adalah adopsi teknologi identitas digital dan tanda tangan elektronik tersertifikasi. Teknologi ini memungkinkan verifikasi cepat dan akurat, tanpa celah manipulasi proses manual. Namun, efektivitasnya sangat bergantung pada keterhubungan sistem antar lembaga.
Marshall menekankan pentingnya interoperabilitas dan berbagi sinyal risiko. “Jika satu institusi mendeteksi pola serangan, sinyal itu harus bisa dibaca lembaga lain. Inilah lapisan proteksi kolektif yang kita butuhkan,” jelasnya.
Dalam lanskap kepercayaan digital, keberadaan Penyelenggara Sertifikasi Elektronik (PSrE) memegang peranan kunci sebagai fondasi utama. Privy, sebagai PSrE resmi di bawah naungan Kementerian Kominfo, menjadi bagian penting dari infrastruktur kepercayaan digital nasional.
Komitmen terhadap keamanan informasi tidak hanya diwujudkan lewat teknologi, tetapi juga melalui tanggung jawab nyata. Salah satunya adalah penerapan certificate warranty—sebuah bentuk jaminan ganti rugi jika terjadi kesalahan dalam proses verifikasi identitas. Jika identitas terbukti tidak sah dan menyebabkan kerugian, Privy siap menanggung risikonya.
Namun demikian, teknologi saja dinilai tidak cukup. Privy menekankan pentingnya membangun budaya verifikasi aktif di masyarakat. Setiap dokumen digital yang diterima sebaiknya tidak langsung dipercaya, melainkan dicek kembali keasliannya sebagai langkah perlindungan awal.
Baca Juga: Jurus Sejumlah BPD Dalam Menangkal Serangan Siber dan Melindungi Data Nasabah
Bersama regulator dan asosiasi, Privy juga tengah mendorong penerapan standar keamanan informasi yang lebih ketat, khususnya di sektor keuangan, layanan publik, dan fintech.
Di tengah laju pertumbuhan ekonomi digital Indonesia, kekuatan utama bukan hanya pada inovasi, tetapi juga pada ketahanan sistem. Tanpa landasan keamanan yang kuat, kemajuan digital bisa menjadi titik rawan. Kini, momen untuk membangun pertahanan bersama itu tak bisa ditunda lagi.
Selanjutnya: Pembiayaan Bank Syariah Tumbuh Lebih Tinggi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News