Reporter: Roy Franedya, Nina Dwiantika | Editor: Asnil Amri
JAKARTA. Meski Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan piutang bank berstatus Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak termasuk piutang negara, bankir-bankir bank pelat merah tetap saja tak berani melakukan hapus tagih (haircut) kredit macet. Mereka masih bingung mekanisme pelaksanaannya.
Ketua Himpunan Bank-Bank Milik Negara (Himbara), Gatot Murdiantoro Suwondo, mengatakan, BNI masih mempelajari apakah keputusan MK bisa direalisasikan. Jika bisa, masih ada hambatan cara melaksanakannya. "Masalah ini urusannya panjang karena harus menghadapi kejaksaan, polisi, dan pemerintah," ujar Gatot, Senin (8/10). Bila terjadi perbedaan tafsir, kata Gatot, ini bisa menjadi masalah di kemudian hari.
Padahal, potensi kredit macet yang bisa dihapus tagih cukup besar. Data Himbara menyebutkan, potensi kredit layak hapus tagih di bankBUMN sebesar Rp 90 triliun. Perinciannya: Bank Mandiri Rp 32 triliun, Bank BNI Rp 24 triliun. Sisanya, di Bank Tabungan Negara dan Bank Rakyat Indonesia.
Wakil Ketua Komisi XI DPR, Harry Azhar Azis bilang, bankir harus bersabat karena keputusan MK hanya menegaskan piutang BUMN bukan piutang negara. MK tidak menjelaskan piutang tersebut, apakah untuk perusahaan BUMN yang saham pemerintah di atas 51% atau di bawah 50%.
Untuk itu, DPR akan mempertegas mekanisme hapus tagih dengan merevisi Undang-Undang (UU) No 49/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara (UU PUPN). "Kami akan menjelaskan apa yang boleh dihapus tagih dan yang tidak," ujar Harry.
Penegasan aturan ini penting untuk mencegah moral hazard mekanisme hapus tagih, yang bisa merugikan negara kemudian hari. "Contohnya, suntikan modal sementara pemerintah, apakah perlu dikembalikan?" ujar Harry.
Ini bukan tanpa alasan. Salah satu pasal di UU Nomor 7/2003 tentang Keuangan Negara menyebutkan kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara dan perusahaan negara daerah termasuk keuangan negara. Artinya, kekayaan bank BUMN bisa dianggap sebagai kekayaan negara.
Walhasil, tanpa ada revisi aturan itu, ada risiko bankir lantaran berani melakukan hapus tagih atas kekayaan negara. Efeknya, mereka bisa terjerat dengan UU lainnya, yakni UU Nomor 15/2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan. (Lihat: Analisis)
Bagi bank BUMN, melakukan hapus tagih memang bisa menciptakan kesetaraan menjalankan bisnis dengan bank swasta. Aksi ini juga bisa meningkatkan pendapatan non bunga dari pos pendapatan lain-lain.
Hanya saja, aksi nekat para bankir melakukan hapus tagih tanpa ada aturan jelas kelak karir mereka bisa berujung di bui. Siapa yang mau?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News