Reporter: Ferry Saputra | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendorong perusahaan perasuransian untuk melakukan tiga hal sebagai langkah atau upaya dalam menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan permohonan uji materi atau judicial review terkait Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).
Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan bahwa norma Pasal 251 KUHD inkonstitusional bersyarat. Dengan demikian, diputuskan perusahaan asuransi atau penanggung tidak bisa membatalkan klaim secara sepihak.
Mengenai hal itu, Deputi Komisioner Bidang Pengawasan Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK Iwan Pasila mengatakan OJK telah bertemu dengan asosiasi perasuransian untuk mempersiapkan tiga hal tersebut.
Baca Juga: Aset Industri Asuransi Mencapai Rp 1.133,87 Triliun Per Desember 2024
Pertama, OJK mendorong agar dilakukan perbaikan ketentuan polis asuransi oleh perusahaan perasuransian. Terkait poin tersebut, Iwan merinci pihaknya melihat secara gambaran besar memang klausul pembatalan polis perlu diperbaiki.
"Oleh karena itu, kami mendorong supaya asosiasi menerapkan standarisasi ketentuan polis yang diperjelas dan disederhanakan. Sebab, industri sudah tidak bisa lagi menggunakan Pasal 251 KUHD itu sebagai dasar polis maksudnya," ungkapnya saat menghadiri suatu acara webinar, Kamis (30/1).
Selain itu, Iwan menerangkan klausul pernyataan kesediaan pembatalan mesti jelas dan sederhana dimuat dalam polis, bahkan mungkin harus tercantum juga di dalam surat permintaan asuransi.
Hal itu untuk memastikan bahwa masyarakat atau pemegang polis itu paham mengenai klausula pembatalan itu ada. Berdasarkan keputusan Mahkamah Konstitusi, keputusan pembatalan itu bisa disepakatkan kedua belah pihak atau juga melalui pengadilan.
"Jadi, kami berharap kalau bisa dibawa lebih jelas terlebih dahulu di depan, maka kesepakatan tentu bisa dilakukan di depan juga," tuturnya.
Iwan juga mengatakan bahwa di asuransi jiwa standarisasi ketentuan polis memang sudah dilakukan. Dia bilang terdapat beberapa perusahaan asuransi umum yang sebelumnya memang tak menyatukan standarisasi ketentuan polis. Oleh karena itu, perlu distandarisasi semua.
Baca Juga: Investasi Saham Asuransi Jiwa Turun 9% di 2024, Sejumlah Pemain Susun Strategi Baru
Selain itu, polis reasuransi juga perlu disesuaikan, baik reasuransi dalam negeri maupun reasuransi luar negeri. Intinya, kesesuaian klausula-klausula pembatalan itu harus sama dari asuransi dan reasuransi. Dengan demikian, perusahaan perasuransian bisa memastikan bahwa ada alur yang jelas untuk pemegang polis.
Kedua, Iwan menekankan perusahaan perasuransian perlu memperbaiki proses klaim, salah satunya dengan dibuat standar dan jelas. Jika ada pemeriksaan kesehatan di awal, tidak boleh ada persyaratan kondisi lain di klaim.
Dia bilang perusahaan perasuransian juga perlu memastikan proses klaim dan komunikasi itu memiliki standarisasi yang sama.
Ketiga, Iwan menerangkan perusahaan perasuransian juga mesti memperbaiki proses underwriting. Dia mengatakan proses underwriting harus dibuat secara jelas dan sesuai standar yang sama.
"Jadi, kami sangat berharap bahwa Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) memastikan ada standarisasi proses dari sisi underwriting," ungkapnya.
Lebih lanjut, Iwan menyebut OJK mendorong proses-proses dalam underwriting harus ada standarisasi komunikasinya. Jadi, dibuat standar agar seluruh perusahaan reasuransi itu sama memberikan standarisasi komunikasi mengenai hasil underwriting.
"Misalnya, apakah seseorang perlu pemeriksaan kesehatan lebih lanjut? Apakah yang diperlukan?" ujarnya.
OJK sangat berharap semua hal itu bisa disatukan dengan niat perusahaan perasuransian untuk membentuk satu database mengenai status underwriting dari nasabah.
Jadi, Iwan bilang nanti setiap perusahaan perasuransian idealnya harus melaporkan seorang nasabah itu diterima coverage-nya dengan risiko standar atau risiko sub-standar.
Dengan demikian, kalau risikonya sub-standar, perusahaan perasuransian baru yang ingin menutup polis nasabah tersebut seharusnya juga menggunakan proses underwriting untuk risiko substandar.
Iwan menyampaikan seharusnya tidak boleh ada lagi perusahaan perasuransian yang membatalkan klaim dengan alasan Pasal 251 KUHD ke depannya. Sebab, Pasal itu sudah menjadi inkonstitusional bersyarat.
Iwan mengatakan OJK melihat bahwa keputusan MK ini sangat baik untuk memperbaiki citra industri perasuransian.
Hal itu juga menjadi kesempatan bagi perusahaan perasuransian untuk memastikan standarisasi yang baik, sehingga industri bisa punya minimum standar layanan kepada nasabah.
"Kalau punya standar seperti itu, tentu perusahaan perasuransian bisa mendorong orang untuk berasuransi dengan ramah. Orang juga bisa mendapatkan asuransi dengan mudah dan mereka bisa tumbuh kepercayaan terhadap industri perasuransian Indonesia," kata Iwan.
Sebagai informasi, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi atau judicial review terkait Pasal 251 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) yang dimohonkan oleh pemohon Maribati Duha, pada Jumat (3/1). Adapun permohonan itu terdaftar dengan nomor perkara 83/PUU-XXII/2024.
Dalam amar putusan, Mahkamah menyatakan bahwa norma Pasal 251 KUHD yang dimohonkan oleh pemohon merupakan inkonstitusional bersyarat.
Dengan demikian, diputuskan perusahaan asuransi tidak bisa membatalkan klaim secara sepihak. Adapun pasal tersebut menjadi dasar yang diterapkan di industri asuransi selama ini atau dikenal dengan prinsip dasar Utmost Good Faith.
Selanjutnya: Asdamindo Dorong Standar Higienitas Depot Air Minum
Menarik Dibaca: KAI Ubah Sarana Sejumlah KA Mulai Besok, Ini Daftarnya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News