Reporter: Ferry Saputra | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyebut platform fintech peer to peer (P2P) lending atau pinjaman daring (pindar) tidak pernah melakukan kesepakatan harga atau besaran bunga pinjaman seperti dugaan yang disebutkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Adapun KPPU menyebut perusahaan fintech lending yang tergabung dalam AFPI secara bersama-sama diduga membuat atau melaksanakan perjanjian penetapan harga atau bunga yang dikenakan ke konsumennya sebesar 0,8% berdasarkan pedoman asosiasi, kemudian menjadi 0,4% pada 2021. KPPU menyampaikan pengaturan kesepakatan harga atau bunga tidak boleh dilakukan pelaku usaha, tetapi harus dilakukan lembaga negara, regulator, atau pemerintah.
“Kami ingin menegaskan bahwa tidak pernah ada kesepakatan penetapan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga pinjaman) antarplatform periode 2018-2023," ungkap Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI Kuseryansyah saat konferensi pers di kawasan Jakarta Pusat, Rabu (27/8/2025).
Kuseryansyah menyampaikan bahwa batas maksimum manfaat ekonomi atau besaran bunga pinjaman sebesar 0,8% pada 2018 dan 0,4% pada 2021 merupakan arahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat itu. Tujuannya, yakni melindungi konsumen dari predatory lending dan pinjaman online (pinjol) ilegal yang memasang bunga sangat tinggi.
"Hal itu juga sudah disampaikan kami ke KPPU,” ujarnya.
Baca Juga: KPPU Gunakan SK AFPI sebagai Bukti Kartel Bunga, Ini Kata Ahli
Lebih lanjut, AFPI juga menyoroti soal Surat Keputusan (SK) Code of Conduct Asosiasi yang disebut KPPU sebagai alat bukti kesepakatan antarplatform di sidang perdana pada Kamis (14/8). Kuseryansyah menegaskan bahwa SK itu telah dicabut pada 8 November 2023, sesuai tanggal mulai berlakunya Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 19 Tahun 2023 yang diterbitkan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dia menyebut sejak saat itu anggota AFPI patuh pada regulasi yang tertuang dalam SEOJK 19/2023.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Persaingan dan Kebijakan Usaha Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKPU-FHUI) Ditha Wiradiputra juga angkat bicara mengenai tuduhan dugaan kartel kesepakatan bunga yang dilayangkan KPPU kepada penyelenggara fintech lending. Dia mengaku tidak menemukan indikasi kesepakatan harga atau bunga dalam dugaan yang dilayangkan KPPU.
Ditha menjelaskan salah satu tujuan perusahaan-perusahaan membuat perjanjian penetapan harga adalah
agar mereka bisa mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, dengan cara membuat kesepakatan. Skenario yang dilakukan, yakni biasanya semua yang harganya rendah dinaikkan menjadi tinggi.
Baca Juga: Bantah Bersekongkol, AFPI Berharap Fintech Lending Berikan Bukti di Sidang KPPU
"Dalam konteks industri pindar, manfaat ekonomi malah diturunkan. Jadi, apakah ada keuntungan yang lebih besar diperoleh perusahaan pindar?” ujar Ditha.
Ditha juga mengatakan dugaan yang dituduhkan KPPU terhadap industri pindar tidak bisa disebut kartel. Dia menerangkan pada pasal yang dikenakan kepada para platform fintech lending adalah Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 mengenai kesepakatan harga atau price fixing. Adapun konteks soal kartel itu terdapat dalam Pasal 11.
"Oleh karena itu, terjadi mispersepsi jika mengatakan kartel, seolah-olah pelaku melakukan pelanggaran Pasal 11, padahal yang dituduhkan Pasal 5. Undang-undang memberikan pengaturan yang berbeda untuk dua pasal tersebut,” ucapnya.
Sebagai informasi, KPPU telah menggelar sidang perdana kasus dugaan kesepakatan bunga di industri pinjaman online (pinjol) atau fintech P2P lending pada Kamis (14/8). Agenda sidang perdana tersebut berupa pemaparan Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) oleh investigator yang dihadiri oleh 92 penyelenggara dari total 97 penyelenggara fintech lending.
Dalam pemaparan LDP, investigator menyebut ada beberapa fakta yang ditemukan dalam perkara itu. Investigator juga menyampaikan ada beberapa dugaan pelanggaran yang dilakukan para terlapor berlandaskan Pasal 5 di UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang pengaturan bersama penyelenggara fintech lending soal penetapan bunga. Adapun KPPU mengusut penyesuaian bunga yang terjadi pada periode 2020-2023.
KPPU menerangkan perusahaan fintech lending yang tergabung dalam asosiasi industri, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), secara bersama-sama diduga membuat atau melaksanakan perjanjian penetapan harga atau bunga yang dikenakan ke konsumennya sebesar 0,8% berdasarkan pedoman asosiasi, kemudian menjadi 0,4% pada 2021.
Baca Juga: KPPU Pecah Rekor, Gelar Sidang dengan 97 Pinjol jadi Terlapor Dugaan Kartel
KPPU menyampaikan pengaturan kesepakatan harga atau bunga tidak boleh dilakukan pelaku usaha. KPPU menilai pengaturan harga harusnya dilakukan lembaga negara, regulator, atau pemerintah.
Terbaru, KPPU sudah melaksanakan sidang lanjutan mengenai perkara tersebut pada Selasa (26/8/2025). Agendanya berupa pemeriksaan kelengkapan dan kesesuaian alat bukti surat dan atau dokumen pendukung Laporan Dugaan Pelanggaran. Alhasil, agenda tersebut dilakukan selama 3 hari hingga Kamis (28/8/2025).
Selanjutnya, KPPU memberikan batas waktu selama 30 hari bagi para terlapor untuk menyatakan sanggahan atau menerima laporan dugaan pelanggaran tersebut. Waktu sidang selanjutnya akan ditentukan berdasarkan pernyataan jawaban dari para terlapor terkait laporan dugaan pelanggaran.
Baca Juga: Sejarah KPPU: Sidang Kartel Bunga Pinjol Libatkan Semua Anggota Komisi
Selanjutnya: Raksasa Tambang Emas Newmont Bakal Pangkas Ribuan Pekerja
Menarik Dibaca: Simak Cara Cerdas Memilih Over Kredit Rumah yang Tepat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News