Reporter: Ferry Saputra | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) turut angkat bicara mengenai digelarnya sidang kasus dugaan kartel bunga di industri pinjaman online (pinjol) atau fintech peer to peer (P2P) lending oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Adapun KPPU resmi menggelar sidang perdana kasus dugaan kartel bunga di industri fintech P2P lending pada Kamis lalu (14/8/2025). Majelis Komisi menyatakan sidang tersebut ditunda dan dilanjutkan kembali pada 26 Agustus 2025, dengan agenda pembacaan Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) bagi terlapor yang tidak hadir pada sidang perdana, serta pemeriksaan alat bukti yang digunakan investigator dalam tahap pemeriksaan.
Ketua Bidang Hubungan Masyarakat AFPI Kuseryansyah mengatakan pada dasarnya AFPI menghormati seluruh proses persidangan yang sedang berlangsung. Ia berharap para pelaku usaha atau penyelenggara fintech lending bisa mengikuti persidangan dengan baik dan tertib.
"Selain itu, diharapkan bisa memberikan bukti-bukti yang diperlukan, bahwa memang tidak ada persekongkolan, tidak ada kesepakatan harga di antara para pelaku usaha. Saya mengira dengan itu juga sudah cukup," ujarnya saat konferensi pers seusai sidang perdana KPPU di kawasan Jakarta Pusat, Kamis (14/8/2025).
Baca Juga: Gelar Sidang Perdana, KPPU Beberkan Laporan Dugaan Pelanggaran Kartel Bunga Pinjol
Sementara itu, Kuseryansyah mengatakan penetapan bunga menjadi 0,8% pada 2018 sebenarnya berawal dari maraknya pinjaman online (pinjol) ilegal yang mematok bunga tinggi sehingga sangat meresahkan masyarakat dan menjadi perhatian serius bagi para penyelenggara fintech lending.
Dia bilang industri fintech lending juga masih baru saat itu, sehingga tak ada acuan. Oleh karena itu, ditetapkan bunga 0,8% yang juga merupakan arahan dari OJK pada saat itu.
"Kalau perubahan 0,8% ada arahan dari OJK," ucapnya.
Dalam menentukan besaran 0,8% saat itu, AFPI melakukan riset ke berbagai negara dan akhirnya mengacu dari praktik fintech di Inggris.
Kuseryansyah menerangkan fintech lending sebenarnya berkeinginan bunga itu tak diatur, tetapi regulator akhirnya mengatur bunga maksimum untuk melindungi konsumen dari pinjol ilegal. Penetapan bunga juga dilakukan agar masyarakat dapat membedakan platform legal dengan yang ilegal.
"Kalau pelaku usaha, sebenarnya inginnya bunga itu tidak diatur. Namun, regulator dengan suasana batin waktu itu karena beroperasinya pinjol ilegal yang sangat masif, kemudian memberi arahan kepada asosiasi untuk mengatur, membedakan antara pinjaman yang terdaftar di OJK dengan ilegal," tuturnya.
Kuseryansyah mengatakan bukti bahwa OJK yang mengarahkan AFPI untuk mengatur penetapan bunga menjadi 0,8% ada di press release pejabat OJK waktu itu.
Lebih lanjut, Kuseryansyah juga menjelaskan bahwa batas maksimum manfaat ekonomi atau bunga merupakan ceiling price (suku bunga maksimum), bukan fixed price (suku bunga tetap). Artinya, dia bilang setiap penyelenggara bebas menentukan tingkat suku bunga, selama tidak melewati batas maksimum yang ditentukan tersebut.
Baca Juga: AFPI Sudah Bertemu KPPU Bahas Dugaan Kartel Bunga Pinjol
Melalui mekanisme itu, Kuseryansyah menilai persaingan antarpenyelenggara fintech lending tetap berjalan. Dia menyebut peminjam atau borrower tetap memiliki banyak pilihan, karena setiap penyelenggara menawarkan skema dan layanan yang berbeda.
"Hal tersebut mencerminkan dinamika pasar yang kompetitif,” ungkapnya.
Kuseryansyah menerangkan bahwa bunga yang diatur sebesar 0,8% pada 2018, kemudian diturunkan menjadi 0,4% pada 2021.
Temuan KPPU
Sebagai informasi, sidang perdana tersebut beragendakan pemaparan Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) oleh investigator. Adapun KPPU memanggil total 97 terlapor yang merupakan penyelenggara fintech lending, tetapi yang tercatat hadir di sidang perdana tersebut hanya sebanyak 92 terlapor.
Dalam sidang tersebut, Investigator KPPU Arnold Sihombing menyebut bahwa Laporan Dugaan Pelanggaran (LDP) terkait perkara Pasal 5 di UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang pengaturan bersama penyelenggara fintech lending soal penetapan bunga, telah dikirimkan kepada para terlapor beserta surat panggilan.
"Adapun dugaan pelanggaran yang disertakan adalah Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang berbunyi pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan/atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama," ungkapnya saat membacakan LDP di sidang KPPU, Jakarta Pusat, Kamis (14/8).
Baca Juga: KPPU Pecah Rekor, Gelar Sidang dengan 97 Pinjol jadi Terlapor Dugaan Kartel
Arnold menerangkan saat proses penyelidikan dan penyidikan yang dimulai pada 4 Oktober 2023 sampai 11 Maret 2025, KPPU menemukan beberapa unsur dugaan pelanggaran yang berlandaskan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999. Salah satunya adanya temuan bahwa penyelenggara yang tergabung dalam AFPI melakukan pengaturan kesepakatan bunga pinjaman.
Berdasarkan uraian dugaan pelanggaran saat persidangan, Arnold menyampaikan bahwa tim investigator menyimpulkan telah terdapat cukup bukti terjadinya pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 yang dilakukan terlapor (penyelenggara fintech lending yang tergabung dalam AFPI).
Selanjutnya: Pasar Kripto Pecahkan Rekor Kapitalisasi, Tapi Risiko Ketidakstabilan Membayangi
Menarik Dibaca: Ini 3 Menu Spesial ABC Cooking Studio yang Hanya Tersedia Selama Agustus 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News