Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bank Indonesia kembali menaikan suku bunga acuan per Oktober 2022 sebesar 50 basis poin dengan total kenaikan selama tiga bulan terakhir 125 bps menjadi 4,75%, hal ini pun turut berpengaruh kepada bunga kredit pemilikan rumah (KPR) perbankan.
Perencana Keuangan OneShildt Consulting Risza Bambang mengatakan, jika margin bank masih cukup besar dan bank sudah komitmen memberikan bunga fixed maka seharusnya bank tidak menaikkan suku bunga KPR jenis fixed interest selama periode jaminan kepada nasabah berjalan.
Memang menurutnya, kenaikan bunga KPR akan menggerus marjin tapi seharusnya ini sudah dihitung dan diproyeksikan oleh bank tersebut, dengan menghitung unsur volume of bisnis yang diperoleh dari produk jenis ini. Juga dengan seleksi nasabah saat pengajuan KPR sehingga mengurangi resiko NPL.
"Jika tidak ada perubahan interest untuk nasabah KPR jenis fixed interest maka tidak jadi tambahan beban bagi nasabah. Namun bagi nasabah KPR jenis floating interest maka ada resiko kenaikan cicilan akibat kenaikan bunga. Hal ini tentunya menambah beban finansial nasabah dalam situasi ekonomi yang tidak pasti," kata Risza kepada kontan.co.id, Kamis (26/10).
Baca Juga: Ekonomi Menantang, Begini Target dan Strategi Bank Mandiri pada Tahun 2023
Ia mencontohkan, nilai cicilan per bulan untuk setiap utang KPR Rp 100 juta dengan bunga sekarang atas tenor 15 tahun sebesar Rp 1,2 juta hingga Rp 1,3 juta. Maka bila kenaikan bunga KPR di 1% mungkin akan menambah nilai cicilan sebesar Rp 100.000 sampai Rp 125.000.
Maka dari itu, dalam mengatur keuangan di era cicilan bunga KPR yang terus naik, Risza menyarankan untuk me-review kembali gaya hidup, kurangi beberapa pengeluaran yang tidak perlu atau tidak wajib. Bahkan jika itu termasuk biaya sosial seperti donasi atau sumbangan yang tidak harus diberikan. Apalagi biaya-biaya entertainment, ini tentu saja harus ditinjau ulang dengan dikurangi secara signifikan atau malahan dihapus.
Selain itu, jika punya dana simpanan yang menganggur maka bisa dipakai untuk mengurangi kewajiban utang pokok atau melunasi sebagian. Menurutnya, boleh saja melakukan restrukturisasi utang KPR tapi hati-hati jika ini justru merubah jenis KPR dari fixed interest jadi floating.
"Skenario terburuknya adalah menjual aset idle atau aset kemewahan untuk melunasi utang-utang sehingga bisa menghilangkan beban pengeluaran yang dirasakan sangat berat, atau cari pinjaman sangat lunak kepada keluarga dengan tanpa kolateral, bunga kekeluargaan dengan cicilan tetap selama waktu tertentu," tuturnya.
Sementara itu, Perencana Keuangan Finansia Consulting Eko Endarto menyebut, dengan kenaikan bunga KPR, peningkatan risiko kepada kinerja bank mungkin terjadi, karena nasabah yang kesulitan untuk membayar. Belum lagi orang yang ambil KPR berkurang karena bunga tinggi.
"Dengan adanya kenaikan bunga KPR, cicilannya akan naik maka akan bermasalah di keuangan mereka. Belum lagi kalau harga-harga barang konsumsi ikut naik juga. Kalau kenaikan bunga KPR misalnya 1%, minimal akan menambah cicilan ke nasabah 1% juga," jelasnya.
Baca Juga: Sebagian Multifinance Belum Naikkan Bunga Pembiayaan
Menurutnya, karena utang (termasuk KPR) adalah kewajiban, maka naiknya kewajiban akan membuat pengeluaran dari sisi lain harus dikorbankan, dengan mengurangi pengeluaran lain yang bukan prioritas. Tapi kalau ternyata sangat memberatkan, maka debitur bisa melakukan negosiasi dengan bank untuk mendapatkan keringanan.
Oleh karena itu, kata Eko, untuk nasabah yang ingin mengambil KPR tapi takut akan kenaikan bunga bisa memilih produk KPR dari bank syariah. Karena, produk dari bank syariah tidak akan berubah untuk bunganya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News