Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto
Seperti diketahui isu terkait NIM perbankan yang tinggi ini sudah pernah disentil oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada awal tahun 2023 lalu.
Concern presiden saat itu adalah jangan sampai demi keuntungan tinggi, perbankan sampai menghambat bisnis dunia usaha dengan memberikan bunga kredit yang tidak membantu sektor tertentu misalnya seperti Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Merespon sentilan Presiden tersebut, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga tahun lalu sudah merilis rancangan beleid terkait transaparan suku bunga kredit bank untuk dimintakan tanggapan kepada masyarakat umum.
Adapun, dalam aturan ini OJK akan mewajibkan publikasi yang lebih rinci yang meliputi Harga Pokok Dasar Kredit (HPDK/Cost of Fund), Biaya Overhead (Overhead Cost), Marjin Keuntungan (Margin) dan Rata-Rata SBK Realisasi. Selama ini, bank hanya wajib mempublikasikan suku bunga dasar kredit (SBDK).
Yang terbaru, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Dian Ediana Rae mengumumkan pihaknya akan segera menerbitkan aturan transparansi suku bunga kredit perbankan pada kuartal II tahun 2024.
Baca Juga: Lima Orang Terkaya Indonesia Punya Harta Rp 2.197 Triliun, Siapa Saja Mereka?
“Saat ini, RPOJK tersebut sedang dalam proses dengar pendapat yang melibatkan stakeholder termasuk DPR sebagaimana amanat pasal 8A UU P2SK,” ucap Dian dalam keterangan tertulisnya belum lama ini.
Di sisi lain, Purbaya menilai masih perlu instrumen untuk dapat mengendalikan NIM perbankan yang tinggi tersebut selain aturan transparansi suku bunga kredit.
"Bank itu kan pengusaha, kalau minta bank diturunkan profitnya atau profit marginnya pasti gak mau. Profit margin kita masih tertinggi loh, tinggi sekali. Jadi harus ada kebijakan dari regulator yang membuat perbankan terpaksa bersaing dengan bank satu dengan lainnya, nanti akan dipikirkan di KSSK gimana cara menciptakan iklim yang lebih kompetitif, jangan seperti sekarang yang oligopolis," kata Purbaya.