Reporter: Tim KONTAN | Editor: Ridwal Prima Gozal
KONTAN.CO.ID - Di tengah meningkatnya kebutuhan pembiayaan pembangunan dan ruang fiskal yang kian terbatas, Indonesia memerlukan cara baru untuk menarik modal jangka panjang. Investasi publik kini diarahkan tidak hanya untuk membangun infrastruktur, tetapi juga memantik masuknya modal swasta. Fenomena ini dikenal sebagai crowding in effect.
Laporan Bank Dunia berjudul “Crowding In Effect of Public Investment on Private Investment Revisited” (Agustus 2024) menunjukkan bahwa investasi publik yang tepat sasaran dapat menggandakan dampaknya. Ketika pemerintah menyalurkan belanja ke proyek-proyek strategis, produktivitas dan minat investasi swasta ikut terdorong. Dengan kata lain, setiap rupiah yang digelontorkan pemerintah dapat menarik lebih banyak rupiah dari sektor swasta.
Dalam konteks inilah, kehadiran Indonesia Investment Authority (INA) menjadi relevan. Lembaga pengelola dana abadi atau sovereign wealth fund (SWF) ini hadir untuk menjembatani kebutuhan modal pembangunan dengan sumber pendanaan jangka panjang investor swasta, dari dalam negeri maupun global.
Ekonom sekaligus Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menilai langkah INA menanamkan dana pada proyek-proyek strategis nasional berpotensi menciptakan efek berantai yang memperkuat struktur ekonomi Indonesia. Kondisi ini adalah sebuah manifestasi nyata dari efek crowding in.
Ia menjelaskan efek crowding in terjadi ketika investasi publik atau lembaga negara mampu menarik masuk investasi swasta dan lembaga keuangan lain. Keyakinan pasar tumbuh karena prospek proyek yang menjanjikan, tata kelola yang transparan, dan reputasi lembaga yang kredibel.
“Dalam hal ini, INA berperan sebagai jangkar kepercayaan yang memberi sinyal kepada investor global bahwa proyek-proyek Indonesia layak dilirik dan dibiayai bersama,” kata Achmad saat dihubungi dari Jakarta, Kamis (9/10/2025).
Akselerasi pembangunan
Sejak beroperasi pada 2021, INA mengemban mandat besar untuk menjadi mitra strategis pemerintah dalam mengakselerasi pembangunan nasional. Lembaga ini tidak hanya berfungsi sebagai pengelola dana, tetapi juga sebagai katalis yang menghubungkan modal global dengan peluang investasi domestik.
Fokus kerja INA tertuang dalam lima sektor prioritas: transportasi, logistik, dan infrastruktur; digital; energi hijau dan ekonomi biru; kesehatan; serta advanced materials. Kelima sektor ini mencerminkan arah transformasi ekonomi Indonesia menuju struktur yang lebih berdaya saing dan berkelanjutan.
Dalam empat tahun pertama operasinya, sejumlah proyek strategis mulai menunjukkan hasil. INA berpartisipasi dalam pembangunan Pelabuhan Peti Kemas Internasional di Belawan, Sumatera Utara, yang rampung pada 2024. Lembaga ini juga menanamkan investasi di kawasan pergudangan modern (2023), pusat data hyperscale di Batam (2023), serta proyek pabrik katoda terbesar di dunia di luar Tiongkok, yang berlokasi di Kawasan Ekonomi Khusus Kendal, Jawa Tengah
Tak hanya di sektor industri, INA juga memperluas investasinya ke sektor kesehatan. Pembangunan pabrik fraksionasi plasma darah pertama di Indonesia (2024) dan investasi di jaringan rumah sakit terbesar di Tanah Air menjadi langkah penting dalam memperkuat ketahanan sektor kesehatan nasional. INA juga tercatat memiliki kepemilikan saham di Kimia Farma dan Mitra Keluarga (2022), serta menyalurkan pembiayaan bersama untuk perusahaan farmasi pada 2024.
INA menjadi anchor investor dalam penawaran umum perdana (IPO) dua perusahaan besar: Mitratel pada 2021 dan Pertamina Geothermal Energy pada 2023. Posisi ini menjadi contoh bagaimana kehadiran INA memperkuat kepercayaan pasar terhadap aset nasional.
Dari sisi permodalan, INA dibentuk dengan modal awal sebesar 5 miliar dollar AS, atau sekitar Rp 77,5 triliun. Modal tersebut tidak seluruhnya berupa uang tunai, tetapi juga terdiri atas penyertaan saham negara (inbreng). Empat tahun berselang, nilai aset kelolaan INA meningkat dua kali lipat menjadi sekitar 10 miliar dollar AS, atau Rp 155 triliun.
Hingga Mei 2025, total penanaman modal kumulatif INA bersama mitra investasi mencapai Rp 65,4 triliun. Menariknya, seluruh penyaluran investasi ini bersumber dari modal nonutang, yang menunjukkan efektivitas INA dalam memanfaatkan kepercayaan mitra global tanpa menambah beban fiskal negara.
Tiga kondisi
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, menilai efek crowding in dalam kebijakan investasi publik baru akan dapat terjadi jika terdapat tiga kondisi yang terpenuhi. Pertama, ketika likuiditas global maupun domestik sedang berlimpah.
Kedua, saat instrumen investasi lain, seperti surat utang pemerintah di Amerika Serikat, Eropa, atau Jepang, kurang menarik akibat suku bunga yang rendah. Ketiga, apabila proyek yang dipilih Iembaga investasi memiliki prospek bisnis yang baik serta kelembagaan usaha yang kuat.
Sebaliknya, jika kondisi pasar keuangan global tengah ketat dan likuiditas menurun, kompetisi untuk mendapatkan dana akan semakin tajam. “Dalam situasi seperti itu, investasi INA bisa memunculkan efek zero sum, di mana dana yang mengalir ke satu proyek berarti mengurangi peluang bagi proyek lain,” ujar Ronny.
Kendati demikian, sejauh ini tren kinerja INA menunjukkan arah yang positif. Pada 2024, realisasi investasi langsung (FDI) mencapai Rp 13,8 triliun, melonjak lebih dari dua kali lipat dibandingkan periode sebelumnya. Capaian ini menjadi rekor tertinggi yang pernah dicatatkan INA sejak berdiri.
Total penyaluran dana INA bersama para mitra co-investor mencapai Rp 19,5 triliun pada tahun yang sama. Secara kumulatif, total investasi yang telah disalurkan menembus Rp 60,9 triliun atau sekitar 3,8 miliar dollar AS atau setara hampir 1 miliar dollar AS per tahun sejak INA berdiri.
Porsi kumulatif penyaluran investasi INA sendiri kini mencapai Rp 24,9 triliun, atau sekitar 1,6 miliar dollar AS. Jumlah ini tumbuh lebih dari enam kali lipat dibandingkan tahun pertama lembaga tersebut beroperasi. Aset kelolaan (asset under management/AUM) INA juga meningkat tajam hingga 92 persen sejak awal berdiri, mencapai Rp 144,3 triliun pada akhir 2024.
Strategis dan signifikan
Lonjakan tersebut mencerminkan meningkatnya kepercayaan investor global terhadap prospek ekonomi Indonesia. Lebih dari 15 negara tercatat sebagai mitra INA dalam berbagai proyek strategis. Dari seluruh portofolio tersebut, sektor transportasi dan logistik masih menjadi fokus utama, menyumbang 51 persen dari total nilai investasi gabungan INA dan co-investor, atau sekitar 61 persen dari total nilai investasi porsi INA.
Ronny menilai strategi investasi INA dapat menciptakan crowding in effect yang cukup signifikan. Menurut dia, sebagian besar dana pihak ketiga yang dikelola INA berasal dari investor keuangan global, baik dari negara maju maupun berkembang, yang terbiasa beroperasi di pasar finansial.
“Karena itu, keberhasilan menyalurkan dana ke sektor riil sangat bergantung pada strategi investasi INA dalam memilih proyek-proyek yang kredibel dan menjanjikan,” ujar dia.
Sebagai SWF, lanjut Ronny, INA tidak menempatkan seluruh dananya pada satu proyek. Pola ini bertujuan menghindari risiko yang terlalu besar sekaligus mendistribusikan risiko ke berbagai pihak.
“Model investasi seperti ini berpotensi menciptakan crowding in effect. Ketika INA menaruh dana di proyek strategis pemerintah dengan prospek yang menarik, lembaga investasi lain akan ikut masuk karena melihat INA sebagai SWF pelat merah yang kredibel,” kata Ronny.
Efek berantai itu akan terasa paling nyata di sektor riil, terutama jika proyek yang dibiayai bersifat fisik, seperti pembangunan jalan tol, energi terbarukan yang didukung PLN, atau proyek pangan strategis nasional. “Investasi semacam ini membuka peluang bagi investasi lanjutan di sepanjang rantai pasok, sehingga memunculkan efek pengganda investasi atau crowding in,” tambah Ronny.
Kinerja tersebut memperlihatkan bahwa INA mulai menjalankan fungsi gandanya yakni sebagai penggerak investasi sekaligus katalis bagi kepercayaan pasar. Jika momentum ini dapat dipertahankan, efek crowding in yang dihasilkan tidak hanya memperkuat arus modal, tetapi juga menumbuhkan keyakinan bahwa Indonesia mampu menjadi salah satu pusat investasi jangka panjang di kawasan.
Selanjutnya: Krom Bank Diawasi OJK dan BI untuk Memastikan Perlindungan Nasabah Bank Digital
Menarik Dibaca: Redmi Note 15 Meluncur dengan Baterai Raksasa 7000 mAh, Awet Dipakai Berhari-hari
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News