Reporter: Aulia Ivanka Rahmana | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perekrutan agen secara tidak sehat, bajak membajak agen asuransi, alias praktik poaching masih menjadi salah satu tantangan yang cukup berat bagi industri asuransi jiwa.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Jiwa (AAJI) Togar Pasaribu mengakui, bahwa praktik poching ini bukanlah hal baru di industri asuransi jiwa. Ia mengatakan, selama ini praktik tidak sehat tersebut rentan merugikan pemegang polis.
Sebab, aksi membajak agen asuransi ini biasanya juga diikuti oleh praktik memindahkan polis nasabah dari perusahaan asuransi yang lama ke perusahaan asuransi yang baru.
"Jadi ada isu pelindungan konsumen dalam praktik poaching ini," kata Togar kepada Kontan, Kamis (10/10).
Togar menyebut, AAJI telah merencanakan penyusunan aturan pelarangan poaching serta meminta arahan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk menentukan strategi yang bisa diambil.
Adapun, bila terbukti ada yang melakukan pelanggaran poaching ini, akan ada sanksi yang diberikan kepada agency leader dan pengurus perusahaan asuransi jiwa.
Baca Juga: OJK Beberkan Sejumlah Tantangan yang Dihadapi Industri Perasuransian
Pada semester I-2024, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) mencatat premi kanal keagenan hanya meningkat tipis sebesar 3,4% secara year on year (YoY) menjadi Rp 27,94 triliun. Pada semester I-2023, premi kanal keagenan ini turun menjadi Rp 27,03 triliun dari periode yang sama tahun 2022 senilai Rp 28,66 triliun.
Perkumpulan Agen Asuransi Indonesia (PAAI) mengakui, saat ini agen asuransi masih dihadapi oleh dua tantangan. Di antaranya praktik poaching dan repricing atau penyesuaian premi akibat inflasi biaya medis.
"Selain itu kualitas agen di Indonesia juga masih belum seragam. Agen yang berpindah perusahaan karena tawaran kompensasi yang lebih tinggi berpotensi menciptakan ketidakstabilan di industri yang menghambat perkembangan agen secara berkelanjutan," kata Ketua Panitia HUT PAAI, Herold dalam agenda HUT ke-8 PAAI, Kamis (10/10).
Sementara tantangan lainnya yaitu inflasi medis, yang menyebabkan kenaikan premi asuransi kesehatan. Biaya medis yang semakin mahal, perkembangan teknologi rumah sakit (RS), serta kenaikan harga obat membuat perusahaan asuransi harus menyesuaikan harga premi.
Adapun faktor lainnya adalah tindakan medis yang sebenarnya tidak perlu dilakukan, namun masih terjadi di sejumlah rumah sakit. Herold bilang, tindakan ini berdampak pada peningkatan rasio klaim yang signifikan, sehingga premi harus disesuaikan.
"Ini tentu mempengaruhi daya beli dan minat masyarakat terhadap produk asuransi, dan agen harus mampu menjelaskan penyesuaian ini dengan bijak kepada nasabah,” kata Herold.
Di sisi lain, Ketua Umum PAAI Muhammad Idaham mengatakan, penyesuaian premi kanal keagenan ini disebabkan oleh masyarakat yang tidak sanggup membayar ataupun memilih untuk berpindah asuransi yang lebih dianggap ekonomis.
Baca Juga: AAUI: Persiapan Implementasi PSAK 117 dan Aturan Ekuitas Minimum Jadi Persoalan
Namun ke depannya, ia menyebut bahwa terdapat potensi yang besar untuk asuransi kanal keagenan, salah satu faktor pendukungnya adalah pemerintahan baru 2025-2029, kestabilan ekonomi, dan kesadaran literasi keuangan dari masyarakat.
"Dari PAAI sendiri, kami punya tanggung jawab membantu agen-agen asuransi untuk bisa meningkatkan kualitas mereka. Dengan memberikan edukasi secara berkelanjutan melalui program reguler yang dilakukan oleh PAAI setiap hari jumat, yaitu Fun Friday," kata Idaham saat ditemui usai agenda HUT ke-8 PAAI, Kamis (10/10).
Idaham meyakini, bahwa AAJI juga memiliki visi yang sama dengan PAAI untuk meningkatkan kualitas agen-agen asuransi di Indonesia dan menetapkan standarisasi mutu dari agen yang belum merata.
Pada 2023, jumlah agen yang dicatat oleh PAAI sebanyak 500.000 ribu agen. Di tahun ini PAAI berharap agen asuransi bisa meningkat menjadi 1 juta agen.
"Keinginan dan ekspektasi pasti ada, tapi masalah angkanya kami juga belum update. Kami berharap bisa sampai 1 juta," tuturnya.
PAAI berharap, industri asuransi di Indonesia semakin berkembang dengan meningkatnya kesadaran masyarakat. Edukasi yang berkelanjutan tentang manfaat asuransi, inovasi produk yang relevan dengan kebutuhan masyarakat, serta peran aktif agen dalam menjangkau berbagai lapisan masyarakat menjadi kunci utama.
PAAI juga menekankan pentingnya kerjasama yang erat dengan pihak regulator seperti Dewan Asuransi Indonesia (DAI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI).
“Kolaborasi ini diperlukan untuk memastikan regulasi yang mendukung pertumbuhan industri, melindungi kepentingan konsumen, dan menjaga profesionalisme agen dalam menjalankan tugasnya,” tutupnya.
Baca Juga: Asuransi Kerja Keras Penuhi Aturan Modal
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News