Reporter: Ferry Saputra | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah saat ini tengah menggodok mekanisme Program Penjaminan Polis (PPP) dan ditargetkan mulai diimplementasikan pada 2028. Disebutkan, PPP akan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) dan setiap perusahaan asuransi wajib menjadi peserta penjamin polis.
Mengenai hal itu, Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) menyampaikan Program Penjaminan Polis (PPP) merupakan cita-cita yang telah lama dinantikan oleh industri asuransi jiwa. Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengatakan AAJI sangat menyambut baik setiap perkembangan dalam pembentukan PPP.
"Kami memandang PPP sebagai langkah strategis dalam memperkuat perlindungan konsumen dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri asuransi jiwa secara keseluruhan. PPP adalah elemen krusial dalam kerangka penguatan sektor keuangan," katanya kepada Kontan, Kamis (31/7/2025).
Togar menambahkan pihaknya memiliki harapan besar bahwa dalam proses pembentukan dan implementasinya, PPP dapat dilaksanakan secara bertahap dan terukur, dengan senantiasa memperhatikan kesiapan serta dinamika industri.
Dia bilang yang tak kalah penting, yaitu aspek-aspek kewajiban keanggotaan, skema penjaminan, batasan manfaat, dan unsur teknis lainnya perlu diatur secara cermat dan sesuai dengan kaidah yang berlaku.
Baca Juga: Terkait Putusan MK, OJK Sebut Asuransi Umum & Jiwa Tengah Sesuaikan Perjanjian Polis
"Hal itu untuk memastikan bahwa operasional, manajemen risiko, dan keberlanjutan finansial masing-masing perusahaan asuransi dapat tetap terjaga dengan baik," ungkapnya.
Dalam setiap diskusi yang dilakukan bersama dengan LPS, Togar menerangkan pihaknya telah menyampaikan berbagai usulan mengenai mekanisme dalam PPP, seperti penjaminan dapat memisahkan aset investasi dari pemegang polis untuk dikecualikan, sehingga yang menjadi objek penjaminan adalah unsur proteksi dari polis.
Selain itu, usulan lainnya adalah besaran iuran keanggotaan dari perusahaan kepada LPS dapat ditinjau dari tingkat risikonya. Untuk perusahaan yang risikonya tinggi, maka perlu dikenakan iuran yang lebih tinggi juga.
"Hal itu dilakukan untuk mencegah adanya moral hazard. Dengan demikian, jaminan yang dikeluarkan oleh LPS nantinya akan seimbang dengan nilai iuran yang dibayarkan," tutur Togar.
Untuk keanggotaan awal, AAJI menyarankan Risk Based Capital (RBC) dapat menjadi salah satu indikator keanggotaan perusahaan. Dengan catatat, Togar bilang LPS juga perlu melakukan pemantauan berkelanjutan kesehatan perusahaan asuransi sampai dengan program penjaminan berlaku pada 2028 atau tidak mengacu pada laporan keuangan tahun tertentu.
Mengenai dampak PPP, Togar menyebut kehadiran PPP di bawah naungan LPS akan membawa dampak positif yang signifikan bagi industri asuransi jiwa. Dia mengatakan peran PPP dalam melindungi pemegang polis dari risiko kegagalan usaha atau kebangkrutan perusahaan asuransi akan sangat krusial.
Baca Juga: AAJI Optimistis Pendapatan Premi Asuransi Jiwa Bertumbuh pada 2025, Ini Alasannya
"Dengan adanya LPS, kepercayaan publik terhadap industri asuransi jiwa akan makin meningkat, karena ada jaminan perlindungan yang diberikan oleh negara atas polis yang dimiliki mereka," ujarnya.
Togar menerangkan hal tersebut tentunya akan menjadi nilai tambah yang besar bagi pemegang polis, sehingga mendorong mereka menempatkan dananya di industri asuransi jiwa untuk jangka waktu yang lebih panjang. Ujungnya, akan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.
Togar juga membeberkan OJK dan LPS senantiasa melibatkan asosiasi dan seluruh pelaku industri perasuransian dalam proses pembentukan mekanisme PPP. Dia menerangkan diskusi yang berkelanjutan dan kolaboratif memastikan bahwa regulasi yang dihasilkan akan komprehensif, implementatif, dan responsif terhadap kebutuhan, serta dinamika industri.
"Kami berkomitmen untuk terus memberikan kontribusi positif dalam setiap forum diskusi untuk mencapai tujuan bersama," kata Togar.
Sebagai informasi, PPP merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sempat memaparkan akan terdapat sejumlah butir ketentuan dalam PPP.
Secara rinci, perusahaan asuransi yang akan mengikuti kepesertaan PPP harus dinyatakan memenuhi tingkat kesehatan tertentu. Salah satu indikatornya adalah tingkat kesehatan perusahaan asuransi atau disebut Risk Based Capital (RBC).
Baca Juga: Hasil Investasi Asuransi Jiwa Tumbuh 75%, Begini Kata AAJI
Selanjutnya, LPS hanya menjamin asuransi komersial yang mengandung unsur proteksi dan tidak mencakup komponen investasi, seperti yang ada di unitlink. Selain itu, asuransi sosial dan asuransi wajib (BPJS) juga dikecualikan dari PPP.
"Kalau ada produk unitlink, kami (LPS) tak menjamin unsur investasinya. Selain itu, asuransi sosial dan asuransi wajib (BPJS) juga dikecualikan dari PPP," ungkap Direktur Eksekutif Manajemen Strategis dan Perumusan Kebijakan LPS Ridwan Nasution saat ditemui di kawasan Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Dari sisi kontribusi, LPS akan mengenakan iuran atau premi kepesertaan kepada perusahaan asuransi yang dibayarkan sebanyak dua kali dalam setahun, Januari dan Juli, serupa dengan skema kepesertaan perbankan.
Namun, saat ini mekanismenya juga masih digodok, kemudian kepastian besaran iuran dan periode pembayaran masih didiskusikan hingga akhirnya akan tertuang dengan jelas dalam PP.
Direncanakan juga adanya besaran batas maksimum (limit) nilai pertanggungan atau manfaat yang dibayarkan kepada pemegang polis, dengan tujuan untuk mencegah moral hazard. Saat ini, mekanismenya juga masih dalam pembahasan bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan pemangku kepentingan lainnya.
Selanjutnya: Bisnis Jasa Jadi Penopang, Pendapatan RMK Energy (RMKE) Tergerus 53,5% di Semester I
Menarik Dibaca: Simak Deretan Rekomendasi Saham dari BNI Sekuritas di Akhir Pekan Ini (1/8)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News