Reporter: Roy Franedya | Editor: Bagus Marsudi
KONTAN.CO.ID - Tingginya kepemilikan asing di industri asuransi tanah air selalu menjadi sorotan. Namun, polemik ini segera berakhir. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah telah menyepakati Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) soal Kepemilikan Asuransi yang disusun oleh Kementerian Keuangan.
Dalam draf yang diajukan Kementerian Keuangan, kepemilikan asing akan dibatasi maksimal 80% dari modal disetor. Kepemilikan ini dikecualikan bagi asuransi yang merupakan perusahaan terbuka.
Dalam draf ini, pemerintah juga mewajibkan kepemilikan pada perusahaan perasuransian oleh badan hukum asing harus melalui penyertaan langsung, transaksi di bursa, atau penyertaan pada badan hukum Indonesia. Perusahaan asing wajib memiliki ekuitas minimal lima kali lebih besar dari penyertaan langsung pada asuransi.
Beberapa pekan lalu, DPR telah sepakat dengan usulan tersebut. Pemerintah juga sudah melakukan harmonisasi atas RPP kepemilikan asuransi ini. Kini, tahapannya tinggal menanti tanda tangan Presiden.
Sebenarnya, pembatasan kepemilikan asing dalam bisnis asuransi ini merupakan amanat dari Undang-Undang (UU) No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Pembatasan ini diberlakukan demi melindungi kepentingan nasional. Maklum, berdasarkan perhitungan DPR, ada 19 perusahaan asuransi yang kepemilikan saham asingnya di atas 80%. Bahkan, dari total aset industri jiwa yang sebesar Rp 368,5 triliun, sebanyak 74,37% merupakan milik asing.
Hanya saja dalam UU No. 40/2014 tidak dicantumkan berapa besar batasan kepemilikan, lantaran DPR dan pemerintah tidak sepakat. Akhirnya, pemerintah ditugaskan untuk membuat aturan dengan berkonsultasi dengan DPR. Aturan ini harus rampung paling lambat dua tahun setelah undang-undang tadi diterbitkan.
Ketua Komisi Keuangan DPR, Melchias Marcus Mekeng mengatakan, kepemilikan asing maksimal 80% tidak berlaku surut. Artinya, aturan ini akan dikenakan pada badan hukum asing yang akan masuk ke Indonesia. Sedangkan asuransi asing yang sudah ada tidak terikat oleh aturan tersebut. Namun, ketika berencana menambah modal, perusahaan asuransi itu harus meningkatkan kepemilikan lokal menjadi 20%.
Keputusan ini disepakati setelah DPR mendengarkan masukan dari pelaku industri asuransi. Soalnya, saat ini, tidak banyak investor yang mau masuk ke asuransi. “Aturan yang dibuat tidak boleh membuat kehebohan, akan mengganggu bisnis. Besaran 80% nanti akan dibuat lagi aturan turunan. Bisa saja nanti maksimal 80% terdiri dari beberapa investor asing ketika dijumlah komposisinya maksimal 80%,” ujar Melchias.
Kesepakatan maksimal kepemilikan asing ini menandakan pemerintah kembali menerapkan aturan lama. Dalam PP No. 73 tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Asuransi, pemerintah memang membatasi kepemilikan asing maksimal 80% ketika mendirikan asuransi. Ada juga tambahan aturan yang mewajibkan pembuatan kesepakatan peningkatan porsi kepemilikan investor lokal.
Tak berpengaruh
Namun aturan ini tidak berjalan maksimal. Krisis moneter yang menghantam Indonesia pada 1997 juga menjangkiti industri perasuransian seperti halnya perbankan. Banyak perusahaan asuransi harus menambah modal agar bisnis tetap bertahan di tengah krisis.
Masalahnya, tidak banyak pemegang saham domestik yang memiliki dana segar guna menyehatkan asuransi. Pada 1999, pemerintah mengeluarkan PP No. 66 yang mengubah PP No. 73 tahun 1992. Inti aturan ini, pemerintah memberikan lampu hijau bagi investor asing menambah kepemilikan di atas 80% dengan syarat jumlah modal yang telah disetor investor domestik tetap dipertahankan.
Namun, penambahan modal oleh investor asing telah membuat porsi kepemilikan investor lokal di asuransi terdelusi. Hal inilah yang membuat beberapa perusahaan patungan (joint venture) di tanah air ada kepemilikan asing hingga 99%.
Pengamat Perasuransian Herris B Simandjuntak mengatakan, aturan kepemilikan yang tidak berlaku surut tidak akan berdampak pada peta bisnis perasuransian. Sebab, sebagian besar pemain global asuransi telah masuk ke Indonesia. “Akan sulit melihat porsi kepemilikan lokal dominan di tanah air. Ini mungkin terjadi pada asuransi umum, tetapi asuransi jiwa tidak mungkin. Hampir semua 10 besar asuransi jiwa di Indonesia adalah perusahaan joint venture,” ujarnya.
Menurutnya, jika tujuan aturan ini melindungi kepentingan nasional, aturannya harus berlaku surut. Pemerintah memberikan masa peralihan yang cukup. Misalnya, 10 tahun hingga 15 tahun bagi investor asing melakukan divestasi saham. Dengan adanya masa peralihan ini, investor lokal juga punya waktu yang cukup untuk mengumpulkan dana. “Bisa saja caranya dengan mengonversi dividen yang didapat menjadi saham,” tambah Herris.
Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor mengatakan, saat ini sulit mencari investor domestik yang masuk bisnis asuransi. Sejatinya, investor domestik yang cocok untuk memiliki asuransi adalah konglomerasi keuangan. Mereka menjadikan produk asuransi sebagai bagian dari one stop solution yang ditawarkan pada nasabah.
Namun, sulit mengharapkan konglomerasi keuangan, sebab mereka sudah memiliki asuransi sendiri. “Investor lainnya belum minat karena tidak paham bisnis asuransi. Lihat saja saham-saham asuransi di pasar modal tidak likuid dan tidak banyak investornya,” ujarnya.
Di sisi lain, Julian menambahkan, pembatasan asing secara sempit tidak akan menguntungkan industri. Soalnya, menurut dia, asuransi masih butuh modal asing dan keahlian dari perusahaan asing di bidang pengelolaan asuransi dan teknologi informasi.
Pemerintah perlu fokus mendorong dan mempercepat transfer pengetahuan pada karyawan lokal. Dengan cara ini, perusahaan asuransi lokal akan mampu bersaing dengan perusahaan asuransi joint venture karena SDM banyak di pasar
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News