Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Dessy Rosalina
KONTAN.CO.ID - Pasca Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memutuskan mencabut aturan relaksasi restrukturisasi kredit yang tertuang dalam POJK Nomor 11 tahun 2015. Alasannya, selain karena aturan itu telah berakhir pada Agustus 2017 ini, OJK menilai rasio non performing loan (NPL) perbankan kian membaik.
Kendati OJK menyebut kinerja perbankan tidak akan terpengaruh dengan pencabutan relaksasi tersebut, sebagian bank kecil menyebut masih membutuhkan relaksasi itu.
Wajar saja, dilihat dari kelas Bank Umum Kelompok Usaha (BUKU) II mencatatkan NPL tertinggi yakni 3,59% pada Juni 2017, naik dari 3,31% pada akhir tahun 2016. BUKU I juga mencatatkan peningkatan NPL yakni dari 2,97% menjadi 3,03% secara year to date (ytd)
PT Bank Ina Perdana Tbk mengatakan dengan dikembalikannya relaksasi restrukturisasi menjadi tiga pilar sebenarnya bisa saja NPL bank justru naik. Direktur Utama Bank Ina Perdana Edy Kuntardjo mengatakan hal ini dikarenakan bank memerlukan biaya pencadangan lebih untuk menahan laju NPL. Alhasil, laba bank berpotensi untuk tergerus.
"Jika NPL meningkat tajam tinggi maka pengaruhnya di laba. Jika bank menjadi rugi, maka bank harus tambah modal," kata Edy kepada KONTAN, Jumat (25/8). Meski begitu, bank bersandi saham BINA ini yakin OJK susah mempertimbangkan kondisi perekonomian saat ini, dalam artian tekanan ekonomi telah mengendur.
"CAR kami (capital adequacy ratio) masih tinggi 62%, ada kemungkinan dampaknya laba akan berkurang," tambahnya.
Senada dengan Edy, Direktur Utama PT Bank Dinar Indonesia Tbk Hendra Lie menyebutkan, perseroan masih mengharapkan adanya relaksasi tersebut untuk dilanjutkan.
"Kalau kondisi kredit masih melambat seperti sekarang dan daya beli pasar masih lemah, tentu masih butuh (relaksasi)," ungkapnya.
Kendati demikian, khusus untuk di Bank Dinar, Hendra menilai dampaknya tidak akan terlalu signifikan.
Pasalnya perseroan telah berpedoman pada restrukturisasi tiga pilar.
Berbeda dengan kedua bank tersebut, PT Bank MNC Internasional Tbk mengatakan tidak terganggu dengan adanya pencabutan tersebut. Direktur Utama Bank MNC Benny Purnomo menilai pihaknya telah menerapkan prinsip kehati-hatian sejak lama dalam pemberian kredit.
"Kami tetap menggunakan tiga pilar, mudah-mudahan (pencabutan relaksasi restrukturisasi) tidak berpengaruh," tutur Benny.
Senada dengan Benny, Direktur Utama PT Bank Harda Internasional Tbk Barlian Halim menyebut pencabutan aturan ini sebenarnya hanya mengembalikan kepada aturan yang lama. Sehingga menurutnya, tidak akan ada dampak pada kinerja perseroan.
Sebagai informasi, keputusan pencabutan aturan ini dapat tercermin dari kondisi kredit bermasalah secara industri. NPL terlihat dari data Statistik Perbankan Indonesia (SPI) per Juni 2017 sebesar 2,96%. Lebih rendah dari setahun lalu yakni 3,05%.
Rasio NPL per Juni 2017 itu juga yang paling rendah di sepanjang sepanjang ini. Kendati rasio NPL perbankan menurun, merujuk data SPI, hingga Juni 2017 kredit dalam kolektibilitas 2 atau dalam pengawasan khusus, naik 11,75% dari periode sama tahun 2016 menjadi Rp 248,33 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News