Reporter: Issa Almawadi, Nina Dwiantika | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Perbankan syariah siap-siap mengendalikan laju pembiayaan dan penghimpunan dana pihak ketiga (DPK). Sebab, Bank Indonesia (BI) berencana membatasi rasio pembiayaan terhadap simpanan atau finance to deposit ratio (FDR), baik untuk bank umum syariah (BUS) maupun unit usaha syariah (UUS).
Rencana tersebut sedang dalam tahap pengkajian di BI. Maklum, pembebasan rasio FDR menimbulkan risiko pengetatan likuiditas dan terjadinya pembiayaan bermasalah atau non-performing finance (NPF) lantaran laju pembiayaan terlalu kencang. "Kami memandang perlu ada nilai batas atas FDR," kata Edy Setiyadi, Direktur Direktorat Perbankan Syariah BI.
Pengkajian batas atas FDR diperlukan, lantaran bank syariah terdiri dari BUS dan UUS yang memiliki sumber perolehan dana berbeda. FDR UUS lebih terjaga lantaran bisa menerima DPK milik sang induk. Sementara, BUS harus bersaing dengan bank induk untuk meraup DPK. Sayang, Edy enggan menyebutkan berapa batas atas FDR yang akan dipatok BI.
"Kami masih mengkaji rentang rasionya dan kami harus menelusuri kemampuan tiap kelompok bank syariah memperoleh DPK," kata Edy. Ia juga belum bisa memastikan kapan aturan itu terbit. Maklum, pengawasan bank syariah sebentara lagi pindah ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Edy berjanji akan mendiskusikan persoalan tersebut ke OJK.
Sekretaris Perusahaan Bank Rakyat Indonesia (BRI) Syariah Lukita T. Prakarsa, menilai rancangan aturan itu akan menjadi tantangan bank syariah menyalurkan pembiayaan dan menghimpubn likuiditas. Terlebih, banyak bank syariah memiliki FDR di atas 100%. Menurut Lukita, angka FDR sebaiknya di kisaran 92%. "Kalau di bawah itu akan banyak dana menganggur," katanya.
Direktur Bisnis BNI Syariah, Imam Teguh Saptono, menilai dengan pembatasan FDR, bank syariah harus kreatif menghimpun DPK dan menahan diri menyalurkan pembiayaan. "Pembiayaan perlu direm biar likuiditas lebih kokoh," kata Imam.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News