Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah perbankan merespons kebijakan Bank Indonesia (BI) mengenai Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) bagi Bank Umum Konvensional (BUK) dan Bank Umum Syariah (BUS)/Unit Usaha Syariah (UUS) yang akan mulai berlaku pada 1 Oktober 2023.
Untuk diketahui, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan insentif likuiditas makroprudensial (KLM) bagi perbankan yang menyalurkan kredit atau pembiayaan secara cepat ke sektor-sektor prioritas menjadi 4% sehingga totalnya diperkirakan akan mencapai Rp 156 triliun. Bentuknya adalah potongan untuk setoran giro wajib minimum (GWM) dari yang saat ini sebesar 9%.
Sebelumnya, besaran likuiditas yang ditetapkan BI sebesar 2,8% dari dana pihak ketiga perbankan, kini meningkat menjadi 4%. Sehingga GWM yang perlu bank-bank setorkan ke Bank Indonesia jika mampu memanfaatkan seluruh ruang kredit itu hanya sekitar 6%.
Direktur Bisnis Mikro BRI Supari mengungkapkan, BRI beserta bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) menyambut dengan senang hati terkait insentif KLM. Karena menurutnya, ke depan isu likuiditas menjadi penting.
Baca Juga: Nilai Transaksi QRIS BCA Tembuh Rp 47 Triliun, Akuisisi Merchant Jadi Strategi
"Sebelum 1 Oktober, kami di Himbara sudah mendapatkan insentif mungkin lebih dari Rp 100 triliun dan di BRI sendiri mungkin sekitar Rp 40 triliun mendapat insentif. Dengan mendapatkan tambahan likuiditas itu berarti akan memberikan ruang kami untuk semakin besar punya kapasitas pembiayaan," tutur Supari saat seminar “Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) di Jakarta, Rabu (13/9).
Menurutnya, ketika insentif ini mulai berlaku di bulan Oktober nanti, maka ruang likuiditas yang pihaknya terima untuk pertumbuhan pembiayaan di Himbara bisa mencapai sekitar Rp 114 triliun, dan di BRI sendiri sekitar Rp 44 triliun.
"Di samping itu kami juga punya ruang pertumbuhan dari rasio-rasio yang penting di luar likuiditas. Jadi dari kapasitas perbankan khususnya Himbara hal ini menurut hemat kami tidak akan menjadi isu," katanya.
Di sisi lain, Supari menilai ada faktor-faktor utama lain bahwa hilirisasi ini adalah bisnis model baru, dan perbankan belum mengenal risikonya, sehingga pihaknya harus menaikkan level risk management-nya.
"Bagaimana kami menaikkan risk appetite bahwa kami sikapi hilirisasi tidak hanya sekadar di level korporasi tapi adalah menjadi trigger dari terbentuknya sebuah eksositem. Maka sesungguhnya, hilirisasi entah itu di sektor minerba maupun non minerba akan meng-create sebuah ekosistem end to end dari level korporasi sampai level utra mikro," jelasnya.
Menurut Supari, kalau itu disikapi dalam perspektif segmentasi yang dikelola Himbara terlebih bahwa Himbara punya fokus, maka tujuan dari hilirisasi itu bisa di-cover oleh Himbara. Himbara sendiri telah memiliki konsep kebijakan mulai dari pembiayaan hijau, inklusi, ultra mikro sampai sektor prioritas.
"Oleh karena itu, kalau kami petakan risikonya, itu menjadi sebuah kuadran yang di situ memetakan sebuah impact dari sebuah hilirisasi yang di ukur dari multiplayer effect, mulai dari income dan value added. Maka di situlah kami akan bergerak," katanya.
Baca Juga: BI Luncurkan Fitur QRIS Tuntas, AstraPay: Akan Berdampak Positif
Corporate Secretary Bank Mandiri, Rudi As Aturridha juga mengatakan, bahwa Bank Mandiri menyambut baik inisiatif BI dalam kebijakan insentif likuiditas tersebut, karena sejalan dengan fokus utama pemerintah dalam mengakselerasi pertumbuhan sektor hilirisasi di Indonesia.
Hal ini menurut Rudi sangat dibutuhkan Indonesia untuk bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi dan lepas dari middle income trap sehingga bisa menjadi negara maju.
"Kami melihat Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) akan menambah likuiditas perbankan dalam menyalurkan kredit ke sektor-sektor hilirisasi, perumahan, pariwisata, inklusif termasuk UMKM dan KUR, serta ekonomi keuangan hijau," ujar Rudi.
Terlebih, kata Rudi Bank Mandiri turut memperbesar portfolio di sektor hilirisasi karena outlook yang baik dari sektor-sektor tersebut.
Dalam penyaluran pembiayaan, Bank Mandiri memiliki loan portfolio guideline yang merupakan pedoman pertumbuhan kredit secara sektoral, dimana industri pengolahan, termasuk industri hilir merupakan salah satu target penyaluran kredit dengan pertimbangan prospek yang positif ke depannya dan kualitas yang masih terjaga dengan baik.
Adapun, sampai dengan Juni 2023 total penyaluran kredit Bank Mandiri secara bank only ke sektor pengolahan telah mencapai Rp 141,9 triliun.
Sejalan dengan itu, Bank Mandiri masih memiliki likuiditas yang memadai untuk menyalurkan pembiayaan dalam memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Selain itu, Bank Mandiri masih optimis kondisi Dana Pihak Ketiga (DPK) akan tumbuh sampai dengan akhir tahun 2023 sesuai dengan target yang direncanakan sehingga insentif tersebut dapat menyokong pertumbuhan kredit dan pengelolaan likuiditas Bank Mandiri dapat dilakukan secara prudent dan optimal.
"Seiring dengan itu, Kami selalu menjaga keseimbangan antara kecukupan likuiditas dan ekspansi kredit yang sehat, sehingga Bank Mandiri akan tetap dapat melakukan pemenuhan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia," tambahnya.
Pihaknya juga memproyeksikan bisnis masih akan tetap tumbuh mengingat bahwa secara umum perbankan masih memiliki likuiditas yang cukup untuk melakukan ekspansi bisnis sejalan dengan pemulihan ekonomi Indonesia yang terus berlanjut.
Dengan fokus pada penguatan ekosistem serta didukung oleh digitalisasi yang menyeluruh pada bisnis Bank Mandiri, pihaknya optimis target pertumbuhan kredit Bank Mandiri masih dapat tercapai yakni di kisaran 10-12% dengan tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
Sementara Peneliti ekonomi digital Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, pihak perbankan akan menyambut baik terkait kebijakan insentif likuidias, tapi sejatinya jika sektor-sektor hilirisasi tidak diberikan insentif GWM pun harusnya tidak masalah karena permintaan kredit hilirisasi minerba tinggi.
"Kredit sektor pertambangan memiliki pertumbuhan yang cukup bagus. Jadi saya rasa program insentif LKM ini tidak signifikan karena pada dasarnya kinerja kredit pertambangan cukup baik," katanya.
Walau demikian ia menegaskan terkait insentif yang diberikan ke sektor pertambangan jangan sampai ke sektor yang kurang baik ke lingkungan, seperti batubara. Hal tersebut akan kontradiktif dengan tujuan pembayaran ekonomi hijau.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News