Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pertumbuhan kredit yang minim selama pandemi berbanding terbalik dengan dana pihak ketiga (DPK). Alhasil, kini perbankan punya ekses likuiditas. Melansir catatan Bank Indonesia, sampai Juli 2020, kredit baru tumbuh 1,0% (yoy), sedangkan DPK telah tumbuh sampai 7% (yoy).
PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) misalnya sampai Juli 2020 rasio loan to deposit ratio (LDR) makin melonggar sampai 84,7%. Direktur Keuangan BRI Haru Koesmahargyo bilang, penyebabnya karena DP perseroan tumbuh lebih tinggi dibandingkan kredit.
“Sampai Juni 2020, pertumbuhan DPK kami sebesar 12,9%, sementara kredit tumbuh 3,8%. Kondisi ini tak terlepas dari lemahnya permintaan kredit saat pandemi,” katanya kepada Kontan.co.id, Jumat (18/9).
Baca Juga: Tenang, bankir pastikan tren penurunan bunga kredit berlanjut
Agar ekses likuiditas tak malah membebani perseroan, Haru bilang kini bank terbesar di tanah air ini tak agresif memburu dana pihak ketiga.
Maklum di tengah permintaan kredit yang mampet, ekses likuiditas justru bisa jadi bumerang buat perbankan, karena bank mesti harus membayar bunga simpanan ke nasabah. Sementara pendapatan bunga dari penyaluran kredit justru terhambat.
Apalagi, buat BRI yang sampai akhir Agustus lalu telah merestrukturisasi kredit Rp 189,1 triliun sampai akhir Agustus 2020 lalu. Ini makin mengurangi pendapatan bunga perseroan.
Saat ekspansi kredit terbatas, selain tak agresif memburu dana Haru bilang perseroan juga makin aktif menempatkan dana di instrumen surat berharga. Ini menjadi strategi untuk menyeimbangkan neraca keuangan.
Baca Juga: Pengguna Octo Clicks bisa atur keuangan lewat fitur Personal Financial Management
“Penempatan di SBN misalnya menjadi salah satu alternatif alokasi aset dalam rangka yield enhancement dari likuid aset jangka pendek seperti penempatan dana di BI, dan antarbank. Sampai Juli penempatan SBN kami senilai Rp 146 triliun dengan PLM di kisaran 13,7%,” jelasnya.
Sementara secara total, sampai Juli 2020 BRI telah menempatkan dana Rp 242,18 triliun triliun pada instrumen surat berharga. Nilai tersebut tumbuh 54,1% (ytd) dibandingkan akhir tahun lalu senilai Rp 157,07 triliun.
Strategi serupa juga diterapkan oleh PT Bank BNI Syariah. Apalagi rasio likuiditas perseroan kini telah berada di bawah 80%. Sampai Juli 2020, financing to deposit ratio (FDR) perseroan berada pada level 71,93%.
Baca Juga: Menurut pengamat, ini alasan bunga kredit bank harus turun di tengah pandemi
“Di tengah perlambatan ekonomi akibat pandemi, kami mendorong penempatan pada secondary reserve, seperti SIMA, dan SKBI,” kata Direktur Keuangan BNI Syariah Wahyu Avianto kepada Kontan.co.id.
Penempatan pada SBSN juga dilakukan oleh perseroan dalam rangka menyeimbangkan pendapatan perseroan dalam jangka pendek.
Ini tercermin dari meningkatnya penempatan dana perseroan di surat berharga yang tumbuh 40,3% (ytd), sementara penempatan di Bank Indonesia justru menurun 48,2% (ytd).
Selanjutnya: Percepat pembangunan LRT Jabobek, KAI teken perjanjian kredit tambahan Rp 4,2 triliun
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News