kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.333.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

BI identifikasi masalah loan to value di syariah


Sabtu, 08 September 2012 / 09:17 WIB
BI identifikasi masalah loan to value di syariah
ILUSTRASI. Pialang saham mengamati pergerakan saham di MNC Sekuritas Jakarta, Kamis (1/10). Dalam lelang sukuk pekan depan investor diprediksi akan masuk tenor jangka pendek.


Reporter: Roy Franedya | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Bank Indonesia (BI) berjanji menerbitkan aturan loan to value (LTV) syariah pada Oktober-November 2012. Namun, BI masih menemukan masalah penerapan LTV di skema bagi hasil, pembiayaan bersama dan sewa dalam syariah.

Ada dua akad yang menjadi kendala dalam penerapan kebijakan uang muka kredit ini. Pertama akad musyarakah mutanaqishah. Kedua, akad ijarah nuntahiya bit tamlik.

Musyarakah mutanaqishah merupakan turunan akad musyarakah. Definisinya, perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk kepemilikan suatu aset.

Kerjasama ini mengurangi hak kepemilikan salah satu pihak, serta menambah kepemilikan pihak lain. Bentuk kerjasama ini berakhir dengan pengalihan hak salah satu pihak kepada pihak lain

Dalam konteks pembiayaan rumah, bank syariah dan nasabah akan bekerjasama dalam pengadaan rumah, lalu terjadi pengambilalihan porsi kepemilikan bank oleh nasabah dengan mengangsur.

Sedangkan dalam skim ijarah muntahiya bit tamlik, bank akan meminjamkan dana ke nasabah untuk membeli rumah, lalu rumah menjadi milik bank. Nasabah baru memiliki rumah itu jika masa ijarahnya selesai dan memenuhi seluruh kewajiban. Pengambilalihan bisa berdasarkan akad jual beli atau hibah.

Direktur Eksekutif Departemen Perbankan Syariah BI, Edy Setiadi, mengatakan BI sedang mengkaji apakah kedua skema ini juga wajib menggunakan LTV atau tidak. Sementara murabahah sudah pasti terkena LTV, karena skema ini mewajibkan peran serta nasabah. "Besaran LTV-nya sedang kami kaji, tunggu saja surat edarannya," ujarnya, Jumat (7/9).

Edy menjelaskan, aturan ini memagari bank syariah agar tidak terkena risiko pembiayaan bermasalah (NPF) tinggi lantaran hanya fokus pada pembiayaan konsumsi. Bila satu bank syariah bermasalah, kredibilitas industri syariah ikut turun.

Ia mengestimasi, bank syariah hanya menyerap sekitar 20% dari pengajuan KPR yang ditolak bank konvensional. "Bank syariah saat ini belum terlalu banyak, tapi kami tetap berusaha agar tidak muncul moral hazard di kemudian hari," tambah Edy. Saat ini rata-rata bank syariah menerapkan LTV 15%-20%.

Pengamat perbankan syariah, Adiwarman Karim, mengatakan kedua skema ini perlu terkena aturan LTV sebagai bentuk penegasan pembagian risiko antara bank dan nasabah. Bila tak dibagi, risiko terbesar ada di bank karena sebagian besar pendanaan di bank. "Contohnya akad musyarakah mutanaqishah, jika pola pembagiannya 1% nasabah dan 99% bank, tentu risikonya ada di bank," ujarnya.

Namun, LTV jangan 30% tetapi maksimal 25%. Sebab, risiko bank syariah dan konvensional berbeda. Tengok saja, NPF perbankan syariah lebih rendah ketimbang bank konvensional. "Sumber dana perbankan syariah juga masih kecil, sehingga kekhawatiran bubble tidak tepat," ujarnya.

Imam T Saptono, Direktur BNI Syariah, menilai kedua akad ini perlu dikecualikan. Basis akad musyarakah mutanaqishah adalah kepemilikan bersama. Sementara dasar ijarah muntahiyah bi tamlik adalah sewa. "Mungkin yang perlu dibenahi adalah manajemen risiko dan unit usaha syariahnya saja," ujarnya.

Di murabahah, BNI Syariah sudah mengantisipasi dengan produk tabungan Griya Hasanah, semacam tabungan berjangka yang khusus untuk kebutuhan pembelian rumah. "BI tidak perlu takut perbankan syariah akan menimbulkan bubble," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×