Reporter: Handoyo | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan kewalahan mengatasi klaim pekerja yang mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT). Antrian penarikan dana JHT terjadi di hampir seluruh kantor cabang BPJS Ketenagakerjaan.
Sebelum September 2015 rata-rata jumlah klaim JHT yang terlayani sebanyak 80.000 pengajuan per bulan. Namun setelah September 2015 meningkat tajam menjadi 250.000 pengajuan per bulan.
Berdasarkan demografi klaim BPJS Ketenagakerjaan, 88% klaim JHT dengan alasan mengundurkan diri atau PHK. Sementara itu, klaim JHT karena sudah memasuki usia pensiun yakni 56 tahun hanya 2% dan sisanya karena alasan meninggal dunia, meninggalkan NKRI, cacat serta karena kepesertaan 10 tahun.
Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Agus Susanto mengatakan, ada beberapa alasan klaim JHT meningkat signifikan. Diantaranya adalah karena faktor ekonomi yang terjadi saat ini sehingga membuat pekerja yang statusnya masih produktif menarik dana JHT.
Padahal, bila penerikan itu dilakukan maka yang akan dirugikan pekerja itu sendiri. Nilai manfaat JHT yang didapat ketika pensiun akan semakin sedikit.
"Mayoritas adalah usia muda (penarikan kalim JHT). Itu yang kami sangat sayangkan. Kalau mereka (pekerja) melakukan redeem atau klaim, pekerja ini yang akan dirugikan," kata Agus Selasa (8/3).
Selain itu, berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 60 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan JHT sejak September tahun lalu juga turut menjadi penyebab lonjakan klaim dari salah satu program jaminan sosial tenagakerja tersebut.
Di aturan tersebut, pekerja yang telah mengikuti kepesertaan 10 tahun dapat memanfaatkan JHT maksimal 30% dari jumlah dana kelolaanya untuk kepemilikan rumah atau paling banyak 10% untuk keperluan lain. Aturan yang lama, pengambilan dana JHT hanya dapat dilakukan setelah masa pensiun atau berhenti setelah kepesertaan lima tahun.
Agus bilang, selama ini jumlah pekerja yang mengajukan klaim JHT diibaratkan seperti deret ukur, sementara kapasitas BPJS Ketenagakerjaan dalam memberikan layanan seperti deret hitung. Jika terus berlanjut, maka jumlah antrian pekerja yang akan klaim dana JHT bakal bertambah besar.
"Jadi semakin lama, jaraknya semakin besar," kata Agus.
Oleh karena itu, untuk mengatasi persoalan antrian yang semakin panjang ini BPJS Ketenagakerjaan telah meyusun rencana jangka pendek dan jangka menengah. Diantaranya adalah segera membuka pelayanan Sabtu-Minggu disesuaikan pada cabang dengan beban klaim tinggi.
BPJS juga akan memperbaiki kemampuan dan kapasitas TI untuk e-klaim dam proses pelayanan, serta mengusulkan perubahan regulasi yakni mengembalikan fungsi dari program JHT.
BPJS Ketenagakerjan juga akan terus melakukan sosialisasi dan memberikan sanksi apabila terdapat unsur kesengajaan karena memanfaatkan celah pada ketentuan yang berlaku saat ini yakni dengan cara menonaktifkan status pekerjaan demi mencairkan klaim JHT.
Untuk dapat memfasilitasi kebutuhan dana peserta, BPJS Ketenagakerjaan dalam kajian menjalin bekerja sama dengan perbankan agar dapat memberikan fasilitas pinjaman multiguna untuk memenuhi kebutuhan dana peserta sehingga tidak perlu melakukan pencairan JHT.
Anggota Komisi IX DPR Djoni Rolindrawan mengatakan, BPJS Ketenagakerjaan harus bertindak tegas terhadap oknum pekerja yang malakukan pembohongan klaim. "Pengertian dari pekerja masih rendah tentang JHT, sehingga mereka mengambil jalan pintas karena terbentur kebutuhan yang mendesak. Beberapa hal, kesejahteraan karyawan masih belum terpenuhi," kata Djoni.
Klaim JHT sejak Januari 2015 hingga Januari 2016 trennya mengalami kenaikan. Walau demikian, puncak penarikan dana JHT tertinggi pada bulan September pasca diperbitkannya PP JHT yang baru.
September 2015 jumlah pengajuan klaim JHT tercatat 315.708 kasus dengan besaran nilai klaim Rp 1,9 triliun. Sementara pada Januari 2016 jumlah pengajuan klaim sebanyak 209.846 kasus dengan nilai Rp 1,5 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News