Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Jika menyebut pembiayaan mikro, nama PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BRI) dengan mudah terngiang dalam ingatan. Bank pelat merah ini memang memiliki pangsa pasar yang mengakar di bisnis pembiayaan mikro Indonesia.
BRI berdiri sejak 16 Desember 1895 dengan nama De Poerwokertosche Hulp en Spaarbank der Inlandsche Hoofden atau "Bank Bantuan dan Simpanan Milik Kaum Priyayi Purwokerto". Didirikan oleh Raden Bei Aria Wirjaatmadja di Purwokerto Jawa Tengah, BRI kala itu merupakan suatu lembaga keuangan yang melayani orang-orang berkebangsaan Indonesia (pribumi).
Hingga Maret 2015, total aset emiten bersandi saham BBRI itu berjumlah Rp 781,18 triliun. Sebagai sebuah konglomerasi, BRI memiliki tiga anak usaha yaitu BRI Agro, BRI Syariah, BRI Remittance.
Seiring pemberlakukan aturan konglomerasi lembaga keuangan, BRI telah ditunjuk menjadi entitas utama. Direktur Keuangan BRI, Haru Koesmahargyo mengatakan, pemilihan BRI sebagai entitas utama lantaran posisi BRI merupakan induk dari sejumlah anak usaha, yang juga memiliki aset terbesar.
BRI berambisi memperkuat permodalan anak usaha, lewat suntikan modal. Pada semester II ini, BRI sudah menganggarkan tambahan modal sebesar, masing-masing Rp 500 miliar bagi anak usahanya.
Saat ini modal inti BRI Agro Niaga di kuartal I-2015 baru mencapai Rp 886,04 miliar, atau tumbuh 5,98% dari periode yang sama tahun 2014. Sementara modal inti BRI Syariah di periode yang sama mencapai Rp 1,66 triliun atau tumbuh 1,84%.
Hingga saat ini, BRI Agro Niaga masih terdaftar dalam jajaran kelompok BUKU I dan BRI Syariah di BUKU II. Penambahan modal bagi BRI Agro dimaksudkan agar bank tersebut bisa masuk dalam kelompok BUKU II. Jika BRI Agro masuk BUKU II, maka BRI Agro bisa mencicipi bisnis valuta asing. "Ini membawa efek yang signifikan bagi perkembangan bisnis perusahaan," ujar Haru, Senin (13/7).
BRI sebagai konglomerasi membawa konsekuensi pemenuhan sejumlah aturan, semisal menyiapkan ketentuan manajemen risiko terintegrasi yang menjadi kebijakan pengelolaan risiko.
Dalam hal pengawasan, BRI membentuk Komite Manajemen Risiko Terintegrasi sebagai komite yang mengawasi pelaksanaan manajemen Risiko di BRI dan perusahaan anak. Terkait permodalan, BRI berupaya terus meningkatkan rasio kecukupan modal atawa capital adequacy ratio (CAR) yang kini berada di level 19%.
Tahun depan, BRI mencanangkan anak-anak usaha tumbuh dengan sehat. "Anak-anak perusahaan kami berikan arahkan ke jalur ekspansi yang benar. Kami melakukan sharing operation system dan juga ATM, sebagai bentuk efisiensi biaya." kata Haru.
Dengan sinergi ini, Haru bilang, konglomerasi keuangan Grup BRI ini tidak perlu membuang investasi secara percuma dan masih tetap dapat mengeruk keuntungan berupa fee based income.
Dengan konglomerasi keuangan saat ini, BRI memiliki kewajiban untuk mengawasi kinerja anak usaha. Sebagai induk usaha, BRI pun menginginkan kinerja dan bisnis anak usaha bisa berkembang, supaya mereka bisa menghasilkan dividen besar bagi BRI. "Namun, kalau kinerja BRI mau tumbuh lebih kencang, mungkin BRI perlu penambahan modal," ujar Haru.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News