Reporter: Anggar Septiadi | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi mengumumkan kriteria buat bank peserta dalam rangka pemulihan ekonomi alias bank jangkar. Dalam penelusaran Kontan.co.id, setidaknya ada tujuh calon yang bisa ditetapkan pemerintah.
Mereka adalah empat bank Himbara yaitu PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), dan PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN). Kemudian, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), PT Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat Tbk (BJBR), dan PT Bank Mandiri Syariah.
Baca Juga: Laba Mandiri Syariah di kuartal I 2020 naik 51%, terdongkrak komisi saluran digital
Ketujuh bank ini memiliki kriteria yang ditetapkan sesuai PP 23/2020 tentang Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk penanganan Covid-19: memiliki kepemilikan saham lokal minimum 51%, merupakan kategori bank sehat, dan termasuk dalam 15 bank dengan aset terbesar.
Sementara delapan bank lain yang termasuk dalam kategori 15 bank dengan aset terbesar, kepemilikan lokalnya kurang dari 51%. Adapun dari tujuh kandidat, cuma anggota Himbara dan BCA yang jadi calon kuat.
Bank BJB saat ini tengah merampungkan rencana penggabungan usaha dengan PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk (BEKS). Presiden Joko Widodo pun sudah meminta Bank BJB membantu likuiditas Bank Banten. Sementara Bank Mandiri Syariah merupakan entitas anak dari Bank Mandiri.
Sumber Kontan sebelumnya menyebut setidaknya kini memang sudah ada tiga bank yang ditetapkan, BRI untuk segmen UMKM, kemudian Bank Mandiri dan BCA untuk debitur perusahaan badan usaha milik negara (BUMN), dan kredit komersial.
Namun mereka masih enggan mengonfirmasikan ini kepada Kontan.co.id. “Petunjuk pelaksanaannya belum resmi, jangan komentar dulu sebelum pasti,” kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiatmadja.
Baca Juga: Semarak aksi korporasi perbankan guna ekspansi pascapandemi
Sementara dalam diskusi bersama Kompas Group, Senin (11/5) kemarin Direktur Utama Bank Mandiri Royke Tumilaar telah mengakui perseroan memang akan ditunjuk sebagai salah satu bank jangkar.
“Kami berharap likuiditasnya benar-benar dari pemerintah. Karena kami bank besar ini termasuk bank sistemik yang juga harus menjaga likuiditas agar operasional tidak terganggu,” katanya.
Dalam beleidnya, bank jangkar memang akan menampung penempatan dana dari pemerintah dalam bentuk simpanan dana pihak ketiga (DPK). Dana tersebut kelak akan disalurkan kepada bank lain yang menjadi peserta program pemulihan ekonomi nasional menghadapi Covid-19.
Sedangkan bank pelaksanaan atau bank yang dapat memanfaatkan dana likuiditas tersebut diwajibkan juga memiliki kategori sehat, dan memiliki surat berharga negara yang belum direpo maksimum 6% dari total DPK.
Baca Juga: Ada corona, pembiayaan multifinance masih tumbuh 2,49%
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso dalam konferensi pers daring bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), kemarin juga menjelaskan dana yang disalurkan dapat menjadi bantalan likuiditas bagi bank yang menyelenggarakan restrukturisasi kepada debitur terimbas Covid-19.
Adapun dari draf Rapat Kerja KSSK dengan Komisi XI DPR yang dihimpun Kontan.co.id, pemerintah telah menyiapkan dana Rp 35 triliun untuk ditempatkan kepada bank jangkar.
Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menilai skema bank jangkar memang bakal membantu likuiditas, baik buat bank jangkar sendiri, maupun bank pelaksana. Terutama guna menyeimbangkan neraca keuangan bank saat masa pandemi.
“Di tengah maraknya restrukturisasi, pendapatan bank memang pasti akan menurun. Sementara mereka tetap harus bayar bunga simpanan nasabah. Tambahan likuiditas pasti akan sangat berguna,” katanya kepada Kontan.co.id.
Baca Juga: Dato Sri Tahir kucurkan dana Rp 3,75 triliun, modal Bank Mayapada makin kuat
Meski demikian, Hans bilang skema tersebut sejatinya belum cukup untuk membantu pemulihan ekonomi. Perlu ada stimulus langsung kepada pelaku usaha. Ia mencontohkan bagaimana Amerika Serikat memberikan bantuan likuiditas bagi maskapai-maskapai penerbangan.
“Tapi ini juga sulit buat pemerintah yang tidak memiliki data terhadap sektor riil. Belum lagi 57% sektor riil juga didominasi oleh sektor informal yang tidak terakses bank,” sambung Hans.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News