Reporter: Shintia Rahma Islamiati | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Sejumlah anggota Komisi XI DPR RI menyampaikan kritik terhadap proses penyusunan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan (SEOJK) Nomor 7 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan yang rencananya mulai berlaku 1 Januari 2026.
Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun menilai OJK tidak melibatkan DPR dalam penyusunan regulasi tersebut. Ia mempertanyakan alasan OJK justru menggandeng lembaga eksternal, yakni LPEM FEB Universitas Indonesia, dalam kajian awal kebijakan co-payment.
“Kita ini kan tidak pernah punya masalah dalam hubungan dengan OJK, kita terakhir banyak melakukan konsinyering, tapi Bapak (Ketua DK OJK) tidak pernah menyampaikan ini ke kita. Tiba-tiba keluar seperti ini, bahwa proses penyusunan ini tentang penyelenggaraan dilaksanakan bersama lembaga ini,” ujar Misbakhun dalam rapat Kerja bersama OJK di Gedung Parlemen DPR RI, Senin (30/6).
Baca Juga: OJK Resmi Menunda Kebijakan Co-Payment 10% Asuransi Kesehatan
Ia menambahkan, jika memang kebijakan ini dinilai strategis, maka seharusnya OJK tidak hanya mengeluarkan aturan dalam bentuk SE, melainkan melalui Peraturan OJK (POJK) agar lebih kuat secara struktural dan hukum.
Pandangan senada disampaikan oleh Anggota Komisi XI DPR, Eric Hermawan, yang meminta agar kebijakan co-payment ditunda hingga 2027. Menurutnya, selain tidak melibatkan DPR, aturan ini juga dinilai terlalu menguntungkan pihak industri asuransi.
“Co-payment ini justru membebani masyarakat. Harusnya ada pendekatan kepada rakyat. Mereka yang akan terdampak, tapi tidak diajak bicara. Yang diuntungkan ya perusahaan asuransi,” kata Eric.
Dalam skema co-payment yang diatur OJK, peserta asuransi diwajibkan menanggung minimal 10% dari total klaim, dengan batas maksimal Rp 300.000 untuk rawat jalan dan Rp 3 juta untuk rawat inap.
Baca Juga: Membedah Manfaat Skema Co-Payment Asuransi Kesehatan
Eric menilai, keputusan OJK menerbitkan SE tanpa konsultasi dengan legislatif dan publik merupakan bentuk kurangnya partisipasi. Karena itu, ia meminta agar penerapan aturan ini dikaji ulang agar tidak merugikan masyarakat luas.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perasuransian, Penjaminan, dan Dana Pensiun OJK, Ogi Prastomiyono, mengatakan OJK akan mengikuti arahan dari Komisi XI DPR. Namun, ia menegaskan bahwa regulasi co-payment tetap penting untuk menjaga keberlanjutan industri asuransi kesehatan.
“Klaim ratio itu sudah mendekati 100 persen, bahkan kalau dimasukin dengan biaya operasionalnya (OPEX) itu sudah di atas lagi. Jadi tahun lalu rata-rata kenaikan premi asuransi kesehatan sudah mencapai lebih dari 40 persen. Jadi sebenarnya sudah cukup tinggi premi yang dibayarkan. Jadi ini adalah salah satu langkah untuk memperbaiki ekosistem asuransi kesehatan. Jadi itu co-payment hanya salah satu,” jelas Ogi saat ditemui usai Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI.
Ogi menilai, penerapan co-payment hanya salah satu langkah untuk membenahi ekosistem asuransi kesehatan yang semakin tertekan akibat beban klaim yang tinggi.
Baca Juga: Sudah Mulai Terapkan Co-Payment, Prudential Indonesia Beberkan Strateginya
Selanjutnya: Bank Mandiri (BMRI) Bakal Terbitkan Obligasi Rupiah, Begini Rekomendasi Analis
Menarik Dibaca: Tiket Diskon KAI Terjual 1,89 Juta Kursi, Ini KA dengan Tarif di Bawah Rp 100 Ribu
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News