Reporter: Laurensius Marshall Sautlan Sitanggang | Editor: Handoyo .
Di lain sisi, kontribusi pendapatan termasuk dari saham dan reksa dana yang menjadi pilihan investasi BPJS-TK menghasilkan angka yang relatif besar. Berdasarkan data yang dihimpun, hasil investasi bruto selama lima tahun terakhir 2016-2020 sebesar Rp137,2 triliun dan Rp33 triliun (reksa dana dan saham).
Tentu unrealized loss BPJS-TK itu tidak ada artinya jika melihat hasil investasi bruto BPJS-TK dari saham dan reksa dana itu. Bahwa ada unrealized loss, itu benar, tergantung pasar saham ke mana geraknya, naik atau turun.
"Lazimnya pasar saham, ada kalanya naik, ada kalanya turun. Jika kondisi baik, ekonomi baik, kemungkinan harga saham juga bergairah. Sebaliknya, kalau ekonomi sedang terpuruk, seperti di awal-awal pandemi COVID-19, Maret 2020 lalu, harga saham berguguran. Namun, ketika mulai membaik dan banjir likuiditas maka harga saham kembali terbang," tambah Eko B. Supriyanto, Chairman Infobank Institute.
Hal tersebut lanjut Eko, bisa dilihat dari realisasi unrealized loss yang selalu berubah-ubah, seiring naik dan turunnya harga saham. Penambahan unrealized loss hanya sebesar, Rp 5,8 triliun. Sedangkan hasil investasi bruto selama lima tahun terakhir 2016-2020 sebesar Rp 137,2 triliun dan Rp33 triliun dari reksa dana dan saham.
Oleh sebab itu ujarnya perlu ada investor sebesar BPJSTK. Dalam periode 2016-2020 dana investasi meningkat Rp 280,3 triliun atau 136%. "Anggap ada sekitar Rp 120 triliun masuk ke pasar. Seandainya tidak ada BPJSTK dan asuransi-asuransi lain, akan sangat mempengaruhi," terangnya.
Melihat hal tersebut, sangat disayangkan jika penyidikan oleh Kejaksaan Agung RI, hanya karena atas laporan masyarakat ini bisa kontra produktif bagi pengembangan pasar modal.
Pasalnya, salah satu dampak itu akan menebar “ketakutan” tidak hanya bagi BPJS-TK sendiri, tapi ke lembaga lain, terutama kepada direksi yang mengurus investasi. Bagi profesional, jangankan jadi tersangka, diperiksa saja, sudah “panas dingin”.
Dampak serius lainnya, pasar modal menjadi sepi, karena berinvestasi di pasar saham menakutkan, penuh risiko ancaman dikriminalisasi. Dan, direksi akan main aman di instrumen deposito yang sudah tentu yield-nya kecil tidak menarik bagi peserta BPJS-TK. Semua akan main aman, dan pasar modal jadi tak bergairah.
"Semoga kasus yang membelit BPJS-TK ini tidak bergerak liar, merembet ke instansi lain yang mengurus investasi. Kasus Jiwasraya dan Asabri tidak dijadikan preseden bagi semua, harus dilihat kasus per kasus. Tidak bisa disamakan, meski dari luar sama, harus dilihat proses, dan saham-saham yang dikoleksi BPJS-TK kelas LQ-45, tidak ada saham gorengan. Harus dibedakan kerugian karena risko bisnis dan korupsi, dan dalam hal ini BPJS-TK karena risiko bisnis yang belum direalisasi. masih punya peluang reborn,” tutup Eko.
Selanjutnya: Pengamat jaminan sosial minta stakeholder SJSN mengomunikasikan regulasi investasi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News