Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemain fintech peer to peer (P2P) lending semakin menjamur. Namun bila ingin beroperasi secara legal maka pemain fintech lending wajib mengurus tanda daftar kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini bertujuan agar pemain dapat diawasi oleh regulator.
Namun pihak OJK tidak dengan mudah memberikan tanda daftar ini. Berbagai berkas dan kesiapan bisnis menjadi garis terdepan dalam meminta restu regulator.
Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi menyebut ada beberapa pertanyaan yang akan regulator tanyai kepada pengurus calon fintech legal. Hal ini akan menjadi pertimbangan bagi OJK untuk memberikan tanda daftar bagi fintech peer to peer lending agar mendapatkan tanda daftar dan dapat beroperasi dengan tenang.
Pertama masalah apa yang hendak di selesaikan. Bila tidak bisa menjelaskan, maka OJK mencium pengurus fintech lending tersebut hanya mengincar tanda daftar untuk kepentingan lain seperti memburu pendanaan start up baik seed funding hingga Series C.
"Bila sudah bisa menjawab maka adakan ada pertanyaan lainnya. Apa visi misi kalian? Lalu program kerja apa? Terakhir ekosistemnya apa? Ekosistem ini artinya mulai dari siapa lender mu? borrower-nya siapa? bagaimana mekanismenya. Jangan sampai fintech peer to peer lending ini hadir sebagai finansial inklusi yang menyakitkan," kata Hendrikus beberapa waktu lalu.
Ia menilai penting menanyai hal ini, agar fintech lending memiliki target yang berani guna mengisi besarnya peluang pembiayaan dalam negeri. Hendrikus bilang fintech lending dikembangkan di Indonesia membidik pelaku usaha yang unbankle dan underserve. Ia menyebut ada 150 juta UMKM, namun 40 juta diantaranya tidak memiliki rekening bank.
"Ada potensi Rp400 triliun, sekarang penyaluran pinjaman fintech lending baru Rp 37 triliun. Nah ini yg udah tanda daftar ngapain saja? Kita selalu tanya saat tanda keluar, berapa banyak target anda? Jangan sampai mereka dapat tanda daftar cuma untuk jual tanda daftar untuk mendapatkan pendanaan seri A, B, C," imbuh Hendrikus.
OJK mencatat per 23 Mei 2019 terdapat 113 fintech lending yang sudah terdaftar dan diawasi oleh regulator. Rinciannya 109 berasal dari Jabodetabek, satu asal Bandung, dua dari Surabaya, dan satu lagi dari Lampung. Berdasarkan jenis usaha 107 merupakan fintech konvensional dan enam berbasiskan Syariah. Berdasarkan statusnya 81 entitas lokasi dan 32 lainnya berstatus penanaman modal asing.
"Saat ini ada potensi total 254 perusahaan fintech baru. Rinciannya perusahaan yang dalam proses pendaftaran 20 entitas, perusahaan yang permohonan pendaftarannya dikembalikan sebanyak 94 perusahaan, dan 27 perusahaan berminat mendaftar," papar Hendrikus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News