Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memberi syarat bagi pelaku fintech peer to peer (P2P) lending yang ingin mendapat izin usaha untuk menggelontorkan 20% pinjaman ke ke UMKM. Hal ini guna menguji ketangguhan kecerdasan algoritma pelaku P2P lending. Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyambut ketentuan OJK tersebut.
Kendati demikian, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) melihat, pelaku P2P lending menyasar sektor produktif ini tidak hanya untuk memenuhi kewajiban OJK. Kepala Bidang Kelembagaan dan Humas AFPI Tumbur Pardede menyebut pemain P2P lending akan selalu melihat peluang dan potensi yang ada di sektor ini.
“Semua akan selalu melihat peluang dan potensi yang ada dengan mempertimbangkan tingkat risiko terukur, pengembangan dan penguasaan pasar. Ke depannya dimungkinkan sekali para penyelenggara P2P lending akan masuk ke semua segmen baik multiguna maupun produktif, hanya mungkin porsi yang berbeda dan cakupan sektor atau subsektor yang berbeda,” ujar Tumbur kepada Kontan.co.id pada akhir pekan.
Selain itu, Tumbur memandang, kewajiban dari OJK bernilai positif. Hal ini karena masih tingginya gap akses permodalan bagi pelaku usaha UMKM sehingga semakin banyak penyelenggara masuk ke sektor produktif akan memberi dampak sangat positif bagi ekonomi kerakyatan.
AFPI mencatat kebutuhan pembiayaan bagi UMKM mencapai Rp 1.600 triliun setiap tahun. Namun lembaga keuangan konvensional hanya mampu menyalurkan Rp 600 triliun tiap tahun. Inilah peluang yang bisa dimanfaatkan oleh pemain fintech P2P lending.
Selain itu, Tumbur menilai, mitigasi risiko pinjaman ke sektor UMKM lebih terukur. Ia melihat mitigasi risiko sektor produktif dan konsumtif berbeda. Sektor produktif lebih selektif sehingga tingkat risiko sektor produktif lebih terukur dan lebih rendah dibanding sektor konsumtif.
Namun kelebihan dari pinjaman ke sektor konsumtif adalah proses yang sangat cepat tapi jumlah kecil dengan persyaratan jauh lebih muda. Oleh sebab itu, pinjaman kepada sektor konsumtif pun masih memiliki peluang yang menarik.
OJK mencatatkan akumulasi pinjaman lewat P2P lending hingga Mei 2019 tercatat sebesar Rp 41,04 triliun. Nilai ini tumbuh 81,11% dibandingkan akhir tahun lalu sebesar Rp 22,66 triliun.
Jumlah pinjaman tersebut disalurkan untuk sektor produktif maupun konsumtif. Salah satu perusahaan P2P lending yang biasanya menyasar segmen konsumtif adalah perusahaan aplikasi kredit virtual finansial online Akulaku. Tahun ini, Akulaku akan mulai membidik segmen produktif.
Director of Corporate Affairs and Public Relations Akulaku Indonesia Anggie Setia Ariningsih mengatakan, produk pinjaman produktif akan membidik para pelaku UKM.
"Akan diluncurkan SME (small and medium enterprise) loan untuk para merchant. Target kami 20% pembiayaan untuk segmen produktif. Itu target yang besar, kami coba pelan-pelan. Pinjaman Akulaku sejak Januari sampai Juni per bulan Rp 1,5 triliun," ujar Anggie.
PT Kredit Pintar Indonesia atau Kredit Pintar juga mulai menyasar sektor produktif dengan meluncurkan produk Petani Pintar. Chief of Officer (CEO) Kredit Pintar Wisely Reinharda Wijaya mengatakan produk ini bertujuan untuk mengembangkan usaha petani
.
"Produk Petani Pintar masih dalam piloting phase. Kami baru luncurkan di bulan Mei, jadi baru dua bulan dan masih melihat data-data terkait beberapa batch pertama," ujar Vice President Kredit Pintar Boan Sianipar kepada Kontan.co.id beberapa waktu lalu.
Boan berharap produk Petani Pintar dapat berkembang lebih. Selain itu, Kredit Pintar saat ini sedang berbicara dengan beberapa partner potensial terkait pengembangan produk ini. Hingga saat ini, Kredit Pintar terus mendorong pemerataan tingkat kesejahteraan masyarakat dengan melayani lebih dari 3 juta nasabah masyarakat Indonesia dengan menyalurkan pinjaman lebih dari Rp 4 triliun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News