Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rasio kredit bermasalah industri perbankan kini terlihat memburuk. Hal ini seiring dengan pelemahan daya beli masyarakat, juga berbagai tantangan ekonomi yang terjadi baik secara makro maupun domestik.
Mengacu pada data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), NPL Gross perbankan Indonesia per April 2025 mengalami kenaikan menjadi 2,24%. Sebagai perbandingan, pada Maret 2025, NPL Gross perbankan Indonesia masih berada di level 2,17% dan pada Desember 2024, NPL Gross-nya jauh lebih rendah di level 2,08%.
Pengamat perbankan Paul Sutaryono menilai, kenaikan NPL di industri perbankan menyiratkan ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Hal itu juga diperparah oleh penurunan daya beli (purchasing power) masyarakat.
Peningkatan kredit bermasalah juga disebut terjadi pada sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) serta kredit konsumsi, seperti kredit pemilikan rumah (KPR).
Data Statistik Sistem Keuangan Indonesia (SSKI) menunjukkan, rasio kredit macet UMKM cenderung hampir menyentuh angka 5%. Per Maret 2025, rasio NPL kredit UMKM tercatat sebesar 4,14% dengan nilai NPL mencapai Rp 61,98 triliun, dan utamanya berasal dari segmen menengah yang mencapai 5,19%. Adapun di segmen mikro dan usaha kecil, NPL masing-masing berada di angka 3,52% dan 4,24%.
Adapun berdasarkan segmen bank, bank persero terlihat mencatatkan nilai NPL tertinggi mencapai Rp 35,11 triliun, disusul bank swasta nasional mencapai Rp 17,40 triliun, dan bank pembangunan daerah (BPD) mencapai Rp 9,46 triliun.
Baca Juga: Kualitas Kredit Perbankan Indonesia Berpotensi Turun, Cek NPL Bank di Negara Tetangga
Peningkatan NPL cukup tajam juga terjadi pada industri bank perekonomian rakyat (BPR). Pada Maret 2025, rasio kredit macet BPR mencapai 11,91%, meningkat dibandingkan Maret 2024 yang sebesar 10,7%.
Paul menyebut, pemburukan kualitas kredit perbankan dapat berlanjut di semester II. Oleh karena itu, bank mau tidak mau harus semakin selektif dalam mengucurkan kredit.
"Jangan sampai hanya mengejar target. Dengan kalimat lain, bank harus meningkatkan penerapan manajemen risiko terutama kredit," kata Paul kepada kontan.co.id, Selasa (24/6).
Menurut Paul, pemerintah juga wajib menggelontorkan belanja pemerintah (government spending) lebih gencar lagi. Karena belanja pemerintah menjadi katalis utama dalam mendorong laju roda sektor riil. Dengan demikian, langkah itu dapat menyuburkan ekonomi.
"Selain itu juga diperlukan stimulus fiskal dan stimulus moneter yang berjalan bersamaan. Stimulus moneter berupa penurunan suku bunga acuan tampaknya tak cukup. Hal itu perlu disusul dengan pemangkasan GWM sehingga bank dapat bernapas lebih leluasa," jelasnya.
Baca Juga: Ini Penyebab Bunga Kredit Perbankan Sulit Turun
Sementara Presiden Direktur Bank CIMB Niaga Lani Darmawan mengatakan, secara tahunan, total NPL gross CIMB Niaga menurun dari 2,21% di Mei tahun lalu menjadi 1,86% di Mei tahun ini, dan net NPL di 0,76%.
"Secara umum yoy semua bisnis ada penurunan NPL kecuali di produk ritel yang ada sedikit kenaikan tetapi tetap lebih baik dari industry," ujar Lani.
NPL UMKM di CIMB Niaga juga disebut masih bergerak stabil. Ini karena CIMB Niaga menarget segmen nasabah dengan profil risiko rendah.
“Karena kami selektif untuk pertumbuhan. UKM kami fokus di middle segment, tidak ke low segment dengan ticket size average sekitar Rp 4 miliar,” ucap Lani.
Melihat kondisi saat ini termasuk penurunan daya beli sekaligus daya bayar, Lani memperkirakan kemungkinan ada kenaikan NPL sampai akhir tahun di ritel consumer.
Lani menyebut, dalam menjaga kualitas kredit, pihaknya selektif dalam memberikan kredit untuk memastikan nasabah bisa membayar cicilan di tengah ketidakpastian saat ini.
Baca Juga: Perbankan Genjot Pertumbuhan Kredit Lewat Skema Channeling
Adapun PT Bank Pembangunan Daerah Banten Tbk. atau Bank Banten (BEKS) mencatatkan NPL gross yang tinggi di Maret 2025 sebesar 7,22%, kendati susut dari 9,58% per Maret 2024.
Bambang Widayatmoko, Direktur Bisnis Bank Banten menjelaskan, penyebab NPL terbesar ada di segmen Komersial dengan sektor bisnis di konstruksi dan pengadaan barang dan jasa, dan sejak tahun 2022 pemberian di segmen komersial ini untuk sementara dihentikan.
"Sebetulnya NPL Gross Bank Banten cenderung menurun secara tahunan yang diiringi dengan ketersediaan CKPN dalam jumlah memadai sehingga NPL Nett Bank Banten kurang dari 2% yang menunjukkan upaya dan komitmen Bank Banten dalam menyelesaikan NPL," terang Bambang.
Lebih lanjut Bambang mengatakan, Bank terus melakukan upaya penyelamatan dan penyelesaian kredit, baik melalui proses litigasi maupun non litigasi, termasuk di dalamnya dengan melakukan kerja sama dengan pihak Kejaksaan Tinggi Provinsi Banten yang sudah terjalin sejak tahun 2022.
"Dengan angka NPL Nett di bawah 2% menunjukkan bahwa Bank Banten telah menyediakan CKPN dalam jumlah yang memadai sesuai regulasi yang berlaku," tambahnya.
Menurut Bambang, dengan mitigasi yang dilakukan perseroan maka tidak ada kendala khusus bagi Bank Banten dalam menyalurkan kredit yang di fokuskan ke konsumer, kepada ASN yang payroll-nya di Bank Banten, serta Kredit Pensiun sebagai mitra Taspen yang di pandang relatif low risk.
"Serta kredit Kontraktor yang pembayarannya bersumber dari APBD yang RKUD nya dikelola Bank Banten, sehingga relatif aman karena termonitor source of payment-nya dengan akurat," imbuhnya.
Baca Juga: BI Minta Perbankan Turunkan Suku Bunga Agar Penyaluran Kredit Meningkat
Selanjutnya: Terdorong Insentif BI, Bank Genjot Kredit ke Sektor Prioritas
Menarik Dibaca: Musim Liburan, Gangguan Perjalanan Whoosh Akibat Layang-Layang Meningkat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News