Reporter: Maizal Walfajri | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk telah mengidentifikasi awal dan melakukan simulasi dampak dari kebijakan kenaikan giro wajib minimum (GWM). Direktur Keuangan BNI Novita Widya Anggraini menyatakan kenaikan GWM tidak akan terlalu berdampak bagi kinerja BNI di 2022.
“Saat ini, likuiditas BNI masih berlimpah sebab LDR BNI di 2021 capai 79,7%. Level ini, cukup untuk ekspansi bisnis di 2022. Memang ada dampak pengalihan likuiditas yang sebelumnya di surat berharga ke GWM, tapi dampaknya tidak akan besar bagi profitabilitas BNI,” tuturnya pada pekan lalu.
BNI menyatakan kredit akan tumbuh lebih agresif di kisaran 7% hingga 10% yoy sepanjang tahun ini. Strateginya dengan banyak mengubah proses bisnis secara digital dan memperkuat manajemen risiko.
Asal tahu saja, Guna menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia (BI) akan menaikkan giro wajib minimum perbankan (GWM). Kebijakan normalisasi ini akan berdampak bagi likuiditas perbankan di tengah pandemi.
Baca Juga: Bisnis Wealth Management Tumbuh, BNI Kelola Dana Nasabah Tajir Hingga Rp 166 Triliun
Gubernur BI Perry Warjiyo menyebut kenaikan GWM secara bertahap ini tidak akan membuat likuiditas perbankan menjadi ketat. Bahkan, bank sentral memprediksi kelebihan likuiditas ini lebih tinggi dari kondisi sebelum pandemi.
BI pun sudah punya hitungan dampak dari rencana kenaikan GWM 300 basis poin (bps) bagi bank umum konvensional dengan rincian 150 bps di Maret, 100 bps di Juni, dan 50 bps di September 2022.
“Likuiditas perbankan sangat besar, sekarang itu Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) 35%. Sebelum Covid-19, itu paling besar hanya 21%. Bila GWM diterapkan, maka AL/DPK akan turun menjadi 30% di akhir 2022. Jadi masih jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi sebelum Covid-19,” ujar Perry pada pekan lalu.
Berdasarkan prediksi likuiditas yang masih berlebih ini, BI berharap perbankan tetap menyalurkan kredit atau pembiayaan kepada masyarakat. BI juga yakin perbankan masih akan melakukan pembelian surat berharga negara (SBN) untuk pembiayaan APBN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News