Reporter: Ferrika Sari | Editor: Yudho Winarto
Ketua BPK Agung Firman Sampurna menegaskan, permasalah Jiwasraya sudah terjadi sejak lama meskipun pada 2006 perusahaan mencatatkan laba semu yang merupakan rekayasa akuntasi atau window dressing. Padahal, perusahaan pelat merah sini seharusnya merugi.
“Pada 2017, Jiwasraya membukukan laba sebesar Rp 360,3 miliar tetapi memperoleh opini adverse, yang artinya tidak wajar akibat adanya kekurangan pencadangan sebesar Rp 7,7 triliun. Jika pencadangan dilakukan sesuai ketentuan seharusnya perusahaan menderita kerugian,” terangnya.
Tahun berikutnya, kerugian bertambah. Pada 2018, Jiwasraya mengalami kerugian sebesar Rp 15,3 triliun dan sampai dengan September 2019 diperkirakan mencapai Rp 13,7 triliun. Keuangan Jiwasraya semakin memburuk pada November 2019 dengan mencatatkan ekuitas negatif Rp 27,2 triliun.
Baca Juga: Akhirnya, Kejagung temukan pelaku pelanggaran dalam kasus Jiwasraya
Kerugian itu terjadi karena Jiwasraya menjual produk saving plan dengan beban dana (cost of fund) yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi, di mana dilakukan secara masif sejak 2015.
“Dana dari investasi tersebut diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana saham yang berkualitas rendah sehingga mengakibatkan adanya negative spread. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya yang berujung pada gagal bayar,” pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News