Reporter: Roy Franedya | Editor: Bagus Marsudi
KONTAN.CO.ID - Pesatnya perkembangan internet dan kian meleknya masyarakat pada dunia digital membuat bisnis daring kian dilirik. Banyak bermunculan perusahaan rintisan (startup) yang menawarkan solusi yang selama ini tidak bisa diselesaikan perusahaan konvensional.
Beragam pemain memang meningkatkan persaingan dalam bisnis digital. Meski begitu, pasarnya masih sangat cukup besar. Sebab itu, agar bisa bertahap memperluas pasar, pemain e-commerce harus rajin melahirkan inovasi guna memikat konsumen. Inovasi ini bisa dilakukan dengan secara mandiri atau berkolaborasi dengan pihak lain.
Nah, cara terakhir inilah yang dipilih PT Mitrausaha Indonesia Group atau dikenal dengan nama Modalku. Start-up peer to peer lending (P2P) ini bekerjasama dengan PT TaniHub Indonesia, yakni penyedia platform yang bisa menghubungkan petani, nelayan, dan peternak dengan para pembeli, dengan menghadirkan layanan supply chain financing (SCF).
SCF merupakan pinjaman yang diberikan kepada para petani, nelayan, dan peternak tanah air yang berada di dalam platform TaniHub. Dalam SCF, Modalku tidak langsung menyalurkan pembiayaan pada petani. Tetapi, Modalku menyediakan sejumlah dana pada TaniHub. Pinjaman ini akan dijadikan sebagai dana talangan atas transaksi yang terjadi antara TaniHub dengan para petani.
Chief Operational Officer (COO) Modalku Iwan Kurniawan mengatakan, dengan adanya SCF, diharapkan petani bisa tetap fokus dalam menjalankan bisnis utama memproduksi hasil panen yang berkualitas tanpa kendala dana. “Solusi lewat aplikasi digital ini akan lebih menguntungkan petani Indonesia. Mereka tak perlu lagi bergantung pada tengkulak untuk memasarkan produk,” ujarnya.
Chief Executive Officer (CEO) Modalku Reynold Wijaya bercerita, awal terjalin kerjasama ini tak lepas dari saran dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ketika itu, manajemen Modalku ingin mengembangkan pembiayaan pada sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang selama ini masih belum dapat mengakses layanan perbankan.
Dalam pertemuan tersebut, OJK mengarahkan Modalku mencoba bekerjasama dengan TaniHub. Alasannya, sektor pertanian masih membutuhkan akses permodalan yang besar. Selain itu, dengan membantu petani, harga pangan juga bisa lebih stabil. “Kami sepakat untuk bekerjasama dan melakukan pilot project,” ujarnya.
Perluas skala bisnis
Bagi kedua perusahaan, kolaborasi ini merupakan kerjasama yang saling menguntungkan dan bisa menjembatani kekurangan yang dimiliki keduanya. Modalku tidak punya pengalaman dan keahlian dalam pembiayaan pertanian. Di sisi lain, TaniHub tidak punya keahlian dalam pengumpulan dana dari investor dan bagaimana mengelola risiko.
Reynold mengatakan, kolaborasi ini juga memberikan rasa tenang bagi Modalku. Sebab, risiko yang mereka hadapi jadi rendah. Dana pinjaman dikelola TaniHub yang mengenal baik petani penerima dana talangan. “Biaya untuk menilai risiko juga menjadi turun. Kami bisa mendapatkan data yang komprehensif dari petani yang diberikan pinjaman. Istilahnya kami berbagi risiko,” ujarnya.
Selain pada petani, SCF juga bisa dimanfaatkan oleh para pelaku UMKM lainnya. Dana talangan akan diberikan pada usaha mikro yang memiliki arus kas yang baik dan bisnisnya berjalan lancar.
Sayang, manajemen Modalku tidak bersedia menyampaikan target pembiayaan yang disalurkan dalam kerjasama ini. Namun, manajemen memastikan bisa menyediakan dana talangan bagi para petani yang bergabung dengan TaniHub.
Reynold menambahkan, Modalku yang menyediakan dana bagi petani ini akan memperluas pasar pembiayaan. Selama ini, Modalku kebanyakan memberikan pinjaman modal kerja pada UMKM sektor perdagangan, jasa, dan manufaktur. Plafon pinjaman yang mereka salurkan maksimal Rp 2 miliar dengan tenor hingga 24 bulan dan bunga antara 9% hingga 24% per tahun.
Perluasan pasar pembiayaan ini sejalan dengan rencana manajemen Modalku untuk meningkatkan skala bisnis (scale business) dan memperdalam penetrasi. Mereka mengganggap selama dua tahun ini sudah banyak belajar tentang bisnis UMKM dan mengelola risiko. Kini, sudah saatnya agresif menyalurkan pembiayaan, tetapi tetap risikonya harus terukur.
Reynold menambahkan, tidak ada strategi khusus untuk menjalankan rencana bisnis tersebut. Manajemen hanya perlu lebih agresif masuk ke pasar dan lebih efisien dalam menjalankan bisnis dan mengelola resiko. “Saat ini, kami sudah punya tiga kantor dan akan berencana menambah beberapa lagi tahun ini. Tetapi belum ditentukan (lokasinya),” ujarnya.
Modalku sudah beroperasi di tiga negara, yakni Indonesia, Singapura, dan Malaysia dengan pinjaman yang disalurkan Rp 1 triliun. Di tanah air, Modalku sudah memberikan modal kerja sebesar Rp 552 miliar kepada 769 peminjam. Rasio gagal bayar 0,1%. “Aplikasi pinjaman yang kami tolak lebih banyak ketimbang yang diterima. Jika tahun ini kami bisa tumbuh dua kali lipat, hal itu akan sangat bagus,” terang Reynold
Perlu mematangkan model bisnis
Bagi pengamat dan pengajar manajemen Daniel Saputro, kerjasama yang dilakukan Modalku dengan TaniHub adalah kerjasama yang baik. Ini merupakan kolaborasi ideal.
Kolaborasi ini memenuhi semua unsur analisis SWOT. Modalku punya keahlian dalam menghimpun dana dari investor dan menyalurkannya, tetapi lemah dalam pembiayaan pada sektor pertanian.
Kekuatan TaniHub ada pada sektor pertanian. Mereka lama berkecimpung dalam bidang ini. Mereka paham bentuk bisnis dan perilaku petani. Kelemahan TaniHub adalah mereka tidak mampu menghimpun dana dari investor dan pengelolaan risiko pinjaman.
Daniel menambahkan, mereka melihat kerjasama ini akan menutupi kekurangan masing-masing. Mereka saling melengkapi sehingga kolaborasi ini menciptakan satu ditambah satu jadinya tiga bukan dua. “Dengan strategi ini, penetrasi pasar kedua start-up ini akan lebih luas ketimbang mereka bekerja sendiri-sendiri. Dengan kolaborasi ini mereka akan besar bersama dan mampu mendikte pasar sehingga pesaing akan kesulitan untuk berkembang,” ujar Daniel lagi.
Namun, masalah start-up hari ini bukanlah pada harus berkolaborasi dengan siapa, tetapi kemampuan bertahan dan mengembangkan bisnis. Memang kue bisnis digital masih sangat besar. Banyaknya pemain yang bermunculan belum akan membuat persaingan berdarah-darah. Bahkan, banyak start-up yang masih merugi. Mereka kebanyakan masih membakar uang untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan produk mereka.
Daniel menjelaskan, membuat inovasi dan terobosan yang unik dan memikat sekarang menjadi hal yang dijual oleh start-up. Namun, mereka belum menemukan model bisnis yang pas. Sebagian dari mereka masih mencoba-coba dan mencari model bisnis yang sesuai.
Sebab itu, Daniel menyarankan perusahaan rintisan untuk menemukan model bisnis yang memberikan pendapatan. “Kolaborasi bisa saja dilakukan. Tetapi, modal bisnis harus segera dimatangkan. Jangan sampai inovasi ini hanya sesaat saja. Tiga tahun kemudian sudah tak terlihat lagi karena usaha ditutup,” ujarnya. Mari kita tunggu bersama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News