Reporter: Issa Almawadi | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Nilai dan volume transaksi real time gross settlement (RTGS) dan kliring pada triwulan dua tahun ini menunjukkan perlambatan pertumbuhan. Data yang tertuang di Laporan Nusantara dalam Kajian Ekonomi dan Keuangan Regional yang dirilis Bank Indonesia (BI) per Agustus 2015 tersebut, merupakan dampak pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Dalam laporan itu disebutkan, secara agregat, nilai transaksi melalui RTGS pada triwulan II 2015 tumbuh melambat pada level 17,66% (yoy) setelah pada triwulan sebelumnya tumbuh di kisaran 21,27%. Nilai transaksi melalui kliring bahkan tumbuh negatif 25,91% (yoy), setelah pada triwulan sebelumnya masih tumbuh di kisaran 10,53%. Sementara, dari segi volume transaksi, baik RTGS maupun kliring, mengalami pertumbuhan negatif masing-masing sebesar 34,67% dan 25,74% (yoy).
Nah, jika menilik lebih dalam, rata-rata nilai transaksi RTGS dalam enam bulan pertama tahun ini mencapai Rp 9.663,65 triliun dengan volume transaksi 1,03 juta kali. Dari data ini, nilai transaksi RTGS naik 11,55% sementara volumenya turun 33,97%.
Lain lagi dengan transaksi kliring. Di periode itu, rata-rata nilainya mencapai Rp 395,24 triliun turun 84% dari Rp 2.470,89 triliun. Hal itu juga sejalan dengan volumenya yang turun 83,55% dari 9,18 juta menjadi 1,5 juta kali.
Menanggapi hal ini, Haru Kusmahargyo, Direktur Keuangan BRI mengatakan, BRI juga mengalami keadaan yang serupa. Nominal transaksi RTGS BRI naik, sedangkan jumlah transaksi turun. Sayang, Haru tidak menjelaskan lebih detil angka-angka yang dimaksud.
"Yang jelas, ini merupakan dampak peraturan baru," kata Haru kepada KONTAN, Kamis (27/8). Haru bahkan menjelaskan, perlambatan ekonomi justru tidak menunjukkan dampaknya pada transaksi RTGS dan Kliring. Dan secara umum, perlambatan transaksi memang karena imbas dari aturan BI.
Ke depan, Haru menilai, akan ada pergeseran tren transaksi RTGS ke kliring. "Secara umum, propsek ke depan bagus karena tidak terpengaruh kondisi saat ini," imbuh Haru.
Lani Darmawan, Direktur Ritel Bank International Indonesia (BII) justru punya pendapat berbeda. Menurut Lani, transaki RTGS dan Kliring menurun karena kondisi ekonomi saat ini. "Karena secara natural akan berdampak pada perputaran uang di bank," ujar Lani.
Seperti diketahui, BI menerapkan efisiensi transaksi perbankan dengan mewajibkan transfer kredit dengan nominal kurang dari Rp 100 juta per transaksi, wajib menggunakan kliring mulai 15 Desember 2014. Ini merupakan bagian dari kebijakan tentang pengaturan batas nominal transaksi nasabah yang dapat diproses melalui sistem BI - RTGS. Aturan ini tertuang melalui SE Nomor 16/18/DPSP tanggal 28 November 2014.
Dari aturan itu, transfer kredit antar bank atas nama nasabah dengan nominal Rp 100 juta ke bawah diarahkan menggunakan layanan kliring. Sedangkan transfer kredit atas nama nasabah dengan nominal lebih besar dari Rp 100 juta per transaksi menggunakan layanan RTGS. Nah, untuk transfer kredit atas nama nasabah dengan nominal Rp 100 juta sampai Rp 500 juta dapat menggunakan kliring dan RTGS.
Dalam penerapan kebijakan ini, Peter Jacobs, Direktur Departemen Komunikasi BI beralasan, Peter menambahkan, kebijakan nominal transaksi di kliring dan RTGS ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi biaya transaksi yang harus dibayarkan oleh nasabah, meningkatkan efisiensi pengelolaan likuiditas bagi bank, dan meningkatkan efektivitas jam operasional sistem BI-RTGS.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News