kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.462.000   9.000   0,37%
  • USD/IDR 16.663   -15,00   -0,09%
  • IDX 8.660   40,02   0,46%
  • KOMPAS100 1.192   10,20   0,86%
  • LQ45 848   1,27   0,15%
  • ISSI 313   2,80   0,90%
  • IDX30 434   0,50   0,12%
  • IDXHIDIV20 501   -0,35   -0,07%
  • IDX80 134   1,11   0,84%
  • IDXV30 138   1,59   1,16%
  • IDXQ30 138   -0,09   -0,07%

OJK Nilai Indonesia Membutuhkan Program Asuransi Wajib Bencana


Sabtu, 13 Desember 2025 / 08:29 WIB
OJK Nilai Indonesia Membutuhkan Program Asuransi Wajib Bencana
ILUSTRASI. OJK menilai Indonesia membutuhkan program asuransi wajib bencana karena eksposur risiko bencana di Indonesia sangat tinggi


Reporter: Ferry Saputra | Editor: Anna Suci Perwitasari

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menilai Indonesia membutuhkan program asuransi wajib bencana lantaran memiliki eksposur risiko bencana yang sangat tinggi.

Kepala Eksekutif Pengawasan Perasuransian, Penjaminan dan Dana Pensiun OJK Ogi Prastomiyono mengatakan hal itu mengingat eksposur risiko bencana di Indonesia sangat tinggi. Sebagai pengingat, sepanjang tahun ini saja terdapat beberapa bencana alam yang terjadi, seperti bencana banjir besar di Bali dan Sumatra.

"Indonesia tentunya membutuhkan skema asuransi wajib bencana, karena eksposur risiko bencana di Indonesia sangat tinggi dengan kondisi geografis yang berada di ring of fire," ucapnya saat konferensi pers RDK OJK, Kamis (11/12/2025).

Baca Juga: Ini Tantangan yang Pengaruhi Kinerja Asuransi Kesehatan di Tahun 2026

Ogi juga menyampaikan bahwa sebenarnya ketentuan mengenai asuransi wajib untuk bencana alam telah diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK). 

Dalam Pasal 39A UU P2SK, disebutkan pemerintah dapat membentuk program asuransi wajib sesuai dengan kebutuhan. Program asuransi wajib, di antaranya mencakup asuransi tanggung jawab hukum pihak ketiga (third party liability) terkait kecelakaan lalu lintas, asuransi kebakaran, dan asuransi rumah tinggal terhadap risiko bencana.

Dijelaskan juga dalam Pasal 39A ayat (2) hingga (4) bahwa pemerintah dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk ikut serta dalam program asuransi wajib, pemerintah dapat mewajibkan kepada kelompok tertentu dalam masyarakat untuk membayar premi atau Kontribusi keikutsertaan sebagai salah satu sumber pendanaan program asuransi wajib, kemudian ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan program asuransi wajib diatur dengan Peraturan Pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari DPR.

"Dalam Pasal 39A, salah satu asuransi wajib yang dapat dilaksanakan adalah asuransi rumah tinggal terhadap risiko bencana. Namun, implementasinya memerlukan pengaturan teknis lebih lanjut," kata Ogi.

Lebih lanjut, Ogi menjelaskan definisi bencana alam atau natural catastrophe sangat luas. Untuk Indonesia sendiri, secara perlindungan risiko terdapat kelompok yang mencakup gampa bumi, erupsi gunung berapi dan tsunami. Selain itu, ada kelompok typhoon, storm, flood, water damage, bisa juga wildfire, atau bencana alam lainnya. 

Baca Juga: OJK Bersama Satgas PASTI Hentikan 2.617 Entitas Keuangan Ilegal hingga November 2025

Sementara itu, Praktisi Asuransi Andreas Freddy Pieloor juga turut angkat bicara mengenai program asuransi wajib bencana. Menurutnya, bencana alam adalah risiko murni dari alam yang tidak bisa dicegah, tetapi bisa dimitigasi. Oleh karena itu, asuransi wajib memang relevan dengan kondisi Indonesia yang rawan bencana alam. 

"Negara perlu melindungi warganya dari dampak ekonomi yang menghancurkan. Di sini, asuransi wajib dapat menjadi instrumen solidaritas nasional," katanya kepada Kontan, Jumat (12/12/2025).

Meskipun demikian, Freddy menilai gagasan asuransi wajib tidak boleh disusun dengan logika saja. Dia mengatakan masyarakat tidak boleh dipaksa membayar premi untuk kerusakan yang dibuat oleh pihak lain. Menurutnya, penyusunan program asuransi wajib juga perlu mempertimbangkan unsur penyebab bencana tersebut.

"Jika perusahaan menyebabkan rusaknya daerah tangkapan air hingga menimbulkan banjir, mengapa keluarga kecil di bantaran sungai harus membayar premi lebih mahal? Mengapa para pemegang saham, direksi, komisaris, atau pejabat pemberi izin tidak ikut memikul beban yang ditimbulkan? Apabila skema tidak dibedakan, asuransi wajib justru menjadi subsidi bagi para perusak lingkungan," tuturnya.

Oleh karena itu, Freddy berpendapat risiko alam dan risiko akibat ulah manusia tidak dapat disatukan.

Dia bilang premi untuk bencana murni alam didasarkan pada probabilitas geologi dan intensitas tektonik, sedangkan risiko human-induced bergantung pada governance, kepatuhan lingkungan, dan perilaku manusia. Dengan demikian, keduanya memerlukan harga premi yang berbeda. 

Di saat yang sama, reasuransi global juga hanya mau menanggung risiko yang terukur dan dapat didiverifikasi. Apabila risiko pencemaran dan risiko geologi dicampur, pasar internasional akan melihat Indonesia sebagai portofolio risiko yang tidak dapat dihitung. 

"Konsekuensinya sederhana, yakni premi global melonjak, kapasitas ditolak, dan sistem nasional runtuh," ujarnya.

Oleh karena itu, Freddy berpendapat Indonesia memerlukan aturan khusus yang menetapkan pertanggungjawaban korporasi dan pejabat publik dalam bencana yang disebabkan manusia. Dia menyarankan perusahaan yang merusak lingkungan wajib membayar kompensasi, restoration bond, bahkan premi tambahan. 

Baca Juga: AXA Mandiri Ungkap Sejumlah Faktor yang Dapat Pengaruhi Kinerja Unitlink Saham

Selain itu, pemegang saham pengendali juga dapat dituntut jika terbukti mengambil keputusan yang menyebabkan kerusakan, lalu direksi dan komisaris dapat dimintai pertanggungjawaban apabila lalai dalam menjalankan operasional perusahaan. Ditambah, pejabat pemberi izin dapat dimasukkan dalam lingkar pertanggungjawaban jika terjadi penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerusakan alam. 

Pada saat yang sama, Freddy menilai premi untuk masyarakat juga harus dirancang secara proporsional. Untuk bencana murni alam, dia menyarankan tarif premi harus ringan, transparan, dan bisa disubsidi bagi kelompok rentan. Adapun skema parametrik yang memicu pembayaran otomatis berdasarkan intensitas gempa atau ketinggian muka air dapat mempercepat bantuan tanpa proses klaim yang rumit. 

"Sebaliknya, premi untuk risiko akibat manusia, harus ditagihkan kepada pelaku langsung, bukan kepada rakyat. Hanya dengan cara itu dapat menciptakan insentif perbaikan tata kelola," ucapnya.

Pada intinya, Freddy mengatakan asuransi wajib bencana menjadi hal yang penting. Namun, dia bilang perlu ada kepastian skemanya tidak menjadi beban baru bagi rakyat, tetapi berbasis keadilan lingkungan. 

Selanjutnya: Hari Nusantara Diperingati Setiap 13 Desember, Apa itu? Inilah Penjelasannya

Menarik Dibaca: Secret Santa Masih Diminati, Simak Peraturan Tukar Kado Natal Legendaris Ini

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×