Reporter: Nadya Zahira | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) tengah menyusun Rancangan Surat Edaran OJK (RSEOJK) tentang Penyelenggaraan Produk Asuransi Kesehatan.
Salah satu ketentuan yang diatur dalam rancangan ini adalah kewajiban bagi produk asuransi kesehatan yang memberikan manfaat rawat jalan untuk menerapkan pembagian risiko (co-insurance).
Dengan skema ini, pemegang polis, tertanggung, atau peserta harus menanggung sedikitnya 10% dari total klaim.
Baca Juga: Ini Tantangan dan Peluang yang Bisa Pengaruhi Kinerja Asuransi Rekayasa Tahun 2025
Wakil Presiden Direktur PT Asuransi Cakrawala Proteksi Indonesia (ACPI) Nicolaus Prawiro menilai, kebijakan co-insurance ini positif karena melibatkan semua pihak dalam menghadapi peningkatan biaya pengobatan.
"Selama ini, inflasi biaya kesehatan hanya berdampak pada perusahaan asuransi. Akibatnya, beban tersebut akhirnya berujung pada kenaikan premi yang harus dibayar oleh pemegang polis," ujar Nicolaus kepada Kontan.co.id, Jumat (14/3).
Menurutnya, penerapan skema co-insurance akan meningkatkan keterlibatan peserta asuransi dalam pembiayaan pengobatan.
Dengan ikut menanggung biaya, peserta akan lebih sadar terhadap kenaikan biaya kesehatan dan menjadi lebih bijak dalam menggunakan layanan medis.
Lebih lanjut, Nicolaus menjelaskan bahwa ACPI memiliki dokter perusahaan serta tim klaim dengan latar belakang pendidikan di bidang kesehatan.
Selain itu, perusahaan juga bekerja sama dengan Third Party Administrators (TPA) dan organisasi profesi seperti Ikatan Dokter Indonesia serta Persatuan Dokter Gigi Indonesia untuk mempersiapkan Medical Advisory Board (MAB) ACPI.
Baca Juga: OJK: Perusahaan Asuransi Bisa Kena Sanksi jika Tak Penuhi Ketentuan Aktuaris
Dalam pengamatan ACPI, lebih dari 60% peserta asuransi kesehatan langsung berobat ke dokter spesialis saat rawat jalan. Hal ini berdampak signifikan pada biaya pengobatan.
"Kami mengusulkan agar kunjungan ke dokter spesialis dilakukan secara berjenjang, dimulai dari rujukan dokter fasilitas kesehatan primer atau dokter umum. Namun, pengecualian dapat diberikan untuk dokter spesialis anak di bawah 10 tahun, dokter kandungan, spesialis THT, dan spesialis mata," tambahnya.
Senada dengan ACPI, Head of Accident & Health Insurance ACA, Agus Triyono, menilai kebijakan co-insurance sebagai langkah positif.
Menurutnya, skema ini merupakan mekanisme yang efektif untuk membagi risiko antara perusahaan asuransi dan peserta.
Selain itu, aturan ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran peserta terhadap biaya layanan medis, sehingga mereka lebih bijaksana dalam memanfaatkan fasilitas kesehatan.
"Dalam jangka panjang, skema ini dapat meningkatkan efisiensi pengelolaan klaim dan menjaga kinerja perusahaan secara berkelanjutan," ujar Agus kepada Kontan.co.id.
ACA Insurance mengusulkan agar skema co-insurance tetap memberikan fleksibilitas kepada peserta dalam menentukan pembagian risiko sesuai kebutuhan mereka.
Contohnya, peserta dapat memilih skema 80% tanggungan perusahaan dan 20% peserta, atau skema 90% tanggungan perusahaan dan 10% peserta.
Agus menilai fleksibilitas ini penting agar peserta dapat menyesuaikan skema dengan kondisi keuangan serta preferensi mereka.
Baca Juga: Medical Advisory Board Punya Peran Penting Bagi Perusahaan Asuransi, Ini Kata OJK
"Skema yang tepat akan membantu menghindari risiko overutilization (penggunaan layanan kesehatan berlebihan) serta mencegah hambatan akses layanan akibat beban biaya yang terlalu tinggi bagi peserta," ujarnya.
Menurut Agus, respons pasar terhadap kebijakan co-insurance akan bervariasi tergantung pada profil finansial dan kebutuhan medis peserta.
Ia mengakui bahwa meskipun kebijakan ini dapat membantu mengendalikan biaya kesehatan dan meningkatkan kesadaran terhadap layanan medis, ada tantangan bagi peserta berpenghasilan rendah atau mereka yang memiliki penyakit kronis, karena adanya tambahan beban finansial.
Oleh karena itu, Agus menekankan pentingnya mekanisme perlindungan tambahan yang mempertimbangkan kondisi keuangan dan kebutuhan peserta agar implementasi aturan ini berjalan optimal.
"Dengan penerapan yang hati-hati dan tepat sasaran, kebijakan ini dapat diterima dengan baik dan mendukung keberlanjutan industri asuransi kesehatan," imbuhnya.
Agus juga menyoroti bahwa penerapan aturan co-insurance kemungkinan akan berdampak pada penyesuaian tarif premi.
Baca Juga: OJK Jelaskan Peran Penting Medical Advisory Board bagi Perusahaan Asuransi
Dengan adanya pembagian risiko antara perusahaan dan peserta, secara teori premi dapat mengalami penurunan karena beban risiko yang ditanggung perusahaan menjadi lebih kecil.
"Namun, penting untuk dicatat bahwa penetapan premi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor lain seperti inflasi biaya medis dan frekuensi klaim. Oleh karena itu, meskipun ada potensi penurunan premi, dampaknya tidak selalu signifikan dan sangat bergantung pada dinamika pasar serta pola penggunaan layanan kesehatan oleh peserta," jelasnya.
Sebagai informasi, ACA Insurance mencatat pendapatan premi sebesar Rp 159 miliar dari lini bisnis asuransi kesehatan hingga akhir Februari 2025.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News